Paperless
Pindah ke sistem paperless berarti pergeseran budaya. Paperless. Banyak orang membicarakannya. Sangat sedikit perusahaan menerapkannya, atau tepatnya sangat sedikit perusahaan yang menerapkannya dengan benar. Paperless tidak hanya berarti mengeluarkan kertas dari ruang kantor ; tetapi lebih daripada itu. Memakai sistem administrasi paperless membutuhkan komitmen dari atas ke bawah, banyak proses desain ulang, termasuk perencanaan komunikasi yang baik. Salah satu perusahaan klien saya bahkan membuat roadmap yang baru benar-benar harus run di periode pemilihan CEO berikutnya.
Apa yang harus kita lakukan, setelah 'yak' kita harus mulai memakai sistem paperless.
Pertama, pertanyakan terlebih dahulu mengapa harus memakai kertas. Seringkali kita bersandar pada kertas, karena bagi kita kertas adalah bentuk nyata dari referensi data. Benar atau salah, data akan kita print-out, karena bentuknya nyata. Kalau kita melihat lebih dalam, mengapa harus memiliki bentuk nyata di atas kertas? Ini kemungkinan besar karena data aslinya tersebar di beberapa sistem. Sumber datanya tidak tunggal. Jadi kita melakukan print-out di atas kertas karena kita harus memindahkan informasi dari satu sumber yang lain. Faktor tambahan adalah cinta kita terhadap kertas. Kertas itu romantis, rasanya tidak ada yang dapat menggantikan kecintaan kita terhadap kertas. Data autentik ? Ya di kertas.
Kedua, ada masalah apa dengan kertas ? Bukan hanya tentang biaya kertas dan tinta printer, lemari penyimpanan (yang setelah dihitung-hitung, ternyata banyak juga lho). Tapi terlebih tentang waktu yang disia-siakan di kantor karena kertas. Dari setiap survei mengenai work load dimana terdapat rincian tugas dari setiap pekerjaan yang dicatat setiap hari selama sebulan, banyak waktu yang dihabiskan untuk tugas-tugas administrasi seperti pengerjaan dokumen. Masalah lain, yang ada karena kertas, aalah data-data yang tidak akurat, duplikasi entri data, terlewatnya persyaratan, laporan yang salah, salah ketik, yang semuanya sudah terlanjur di print-out. Jangan langsung di-schreder, kumpulkan, dan hitung jumlahnya dalam sebulan. Bisa jadi lebih banyak dibanding kertas yang betul-betul terpakai.
Ketiga, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, bahwa proses menuju paperless bukan hanya tugas. Ini adalah budaya. Ini adalah mind-set, cara kita berpikir tentang kertas. Untuk setiap proses kerja yang dibuat, pertanyaannya adalah apakah ini akan menghasilkan selembar kertas ? Jika jawabannya adalah ya, maka itu bukan keputusan yang tepat. Paperless adalah cara menemukan keseimbangan dalam memiliki sistem penyimpanan elektronik yang tepat. Contohnya, dengan blog ini, saya tidak perlu bersedih mendapati album foto yang berjamur. Jadi, kita perlu alat dan informasi yang tepat, hardware maupun softwarenya. Alat yang tepat dan informasi yang tepat untuk melakukan pekerjaan memang penting, tetapi yang lebih penting adalah mengkomunikasikan hidup tanpa kertas. Manajemen perlu berkomunikasi dengan para mantan pengagum kertas, mendengarkan apa yang dibutuhkan untuk memudahkan kehidupan paperless. Mencari alat yang tepat agar segala informasi aman dan dapat diakses hanya dalam satu atau dua klik, serta mudah digunakan sehingga tidak kembali ke kecintaan mereka pada kertas.
Ketika penghuni kantor merasa informasi elektronik akan aman, mudah untuk menemukan, dan lebih cepat untuk melakukan pelaporan, maka kita telah membuat roadmap transisi paperless dengan tepat.