top of page

 

 

 

 

 

 

 

MAHADAYA, seperti namanya, memiliki power luar biasa dalam mengelola dirinya. Daya pria muda yang baik hati, ramah, senyumnya tulus, penyayang, penyabar, pandangan matanya tajam, sangat sedikit berbicara, banyak mengamati sekitar, berwibawa, berpikir dan bertindak dewasa. Saya selalu mengagumi abang Daya, anak pertama saya ini.

Dari kecil Daya jarang menangis, dan kalaupun merasa sedih hanya alis matanya yang memerah. Kalaupun mau menangis, dia akan mencari tempat tersembunyi agar tidak terlihat orang. Sejak kecil Daya terbiasa mandiri. Dia tahu apa yang dia mau. Kalau merasa sakit Daya akan datang kepada saya, 'sepertinya aku udah harus minum obat deh bu', katanya. Dari situ saya baru tahu kalau dia sakit. Jadinya beda tipis antara Daya yang mandiri dengan ibunya yang kurang perhatian. Hehe. 

Dia terbiasa mengamati. Banyak hal dia bisa karena memperhatikan. Mungkin itu pula sebabnya ketika kecil dia yang senang lompat dari satu kursi ke kursi lainnya di ruang tamu, hampir tidak pernah jatuh. Dan itu pula sebabnya ketika itu saya jarang khawatir bila dia pergi walau harus menyeberang jalan. Daya anak yang tenang dan berpikir sebelum bertindak. Dia jarang sekali ceroboh atau tergesa-gesa dalam berkegiatan.

Mahadaya, usianya saat ini hampir dua puluh tiga tahun dan masih kuliah tingkat akhir di Unpad Jatinangor. Memilih homeschooling ketika kelas dua SMA, tetapi masuk saringan UMPTN ke Unpad, berbekal logika dan IQ-nya yang 140. Berbagai dinamika di perjalanan pendidikannya mungkin terlihat sebagai 'jangan sampai seperti Daya' bagi keluarga lain di keluarga besar saya, tetapi hal yang sebaliknya untuk kami berempat.

Mahadaya saya ini, tumbuh menjadi pria muda yang bijak dan sangat dewasa melebihi usianya. Bahkan sayapun seringkali meminta pertimbangannya bila menemui masalah tak terpecahkan. Beberapa perselisihan pendapat diantara kami berempat diperantarai olehnya. Jalan berpikirnya simpel tetapi runtut dan menyelesaikan masalah. 

Walau dia selalu menuntut penjelasan logis dari setiap kesalahan atau kekeliruan orang lain, Daya sangatlah pemaaf. Adiknya, Maharama, suatu kali tidak punya alat penyetel lagu MP3. Kemudian Ipod yang dipinjamkannya kepada Rama ternyata hilang entah dimana. Daya baru mengetahui kehilangan tersebut justru dari saya yang minta dia ikut mencarikan benda tersebut. Setelah merasa kecewa karena ketidaktahuannya, dan menuntut penjelasan adiknya, dia mewajibkan adiknya menabung untuk membeli Ipod baru bukan untuk mengembalikan miliknya tetapi agar Rama bisa punya Ipod sendiri. 

Saking bijaksananya, sampai saat ini dia tidak mau menjelaskan kepada saya mengenai siapa yang telah membuat rasa 'terlukanya' yang sangat membekas saat dia masih kecil ketika suatu kali seorang (entah) adik atau kakak saya memaksanya dan 'menyeretnya' hingga terjatuh dari tempat tidurnya di lantai atas agar turun ke bawah karena keluarga besar sedang berkumpul, walau dia sudah mengatakan tidak sedang bersedia. Walau 'luka', Daya sudah lama memaafkannya.

Kejadian tersebut menjadi trauma cukup mendalam, karena diantara kami berempat tidak pernah ada kata 'harus', apalagi sampai pada penggunaan kekerasan. Saya dan suami sengaja memberi nama yang singkat dan simpel. Becandaannya adalah agar mereka, anak-anak, bisa mempunyai kebebasan menambahkan nama mereka sendiri. Kami terbiasa dengan menghargai pendapat dan kemauan masing-masing pribadi. Jika pandangan dan permintaan pihak lain diantara kami berempat tidak bisa diterima, maka pilihan diserahkan ke yang empunya mau dengan kesadaran penuh akan segala resikonya. Akan selalu ada tempat bagi perbedaan pendapat. Olehkarenanya menurut kami, tersedianya kotak pilihan abstain di lembaran pemilu kita menjadi sangat penting, karena tidak memilih pilihan yang tersedia adalah hak. 

Walau kami berdua, adalah ayah dan ibu, kami selalu mengatakan bahwa orangtua juga bisa salah, bisa dipertanyakan tindakannya, bisa diprotes bila kami keliru. Kami berdua, ayah dan ibu, tidak punya hak veto. Walau kami terbiasa berembug, sesekali, untuk hal-hal remeh temeh seperti tebak-tebakan, mau ke restoran mana, mau nonton apa, apabila tidak terjadi kesepakatan, ditentukan oleh voting. Dalam setiap voting, nilai saya adalah dua suara, sementara tiga pria tersebut masing-masing punya satu suara. Yang sering terjadi adalah, mereka bertiga berkoalisi.  

Kebebasan dan penghargaan di keluarga kecil saya hanyalah kebiasaan, bukan sebuah kebanggaan, karena tentunya budaya masing-masing keluarga ada lebih dan kurangnya, ada plus dan minusnya. Demikian juga dengan komitmen dan keyakinan tersebut di kami berempat. 

Mahadaya, yang biasa dipanggil Maday oleh teman-temannya cukup luwes dalam berteman. Temannya dari berbagai kalangan. Bila bukan karena 'games online' di rumah dengan kecepatan internet yang cukup tinggi, pastilah dia jarang pulang ke Jakarta atau sering keluyuran dengan teman-temannya.

Daya penggemar sepak bola dan makanan, bila di rumah. Menurut pengakuannya, di Jatinangor dia jarang makan. Justru rumahlah yang menyebabkan badannya semakin besar tak terhindarkan. Kegemaran pada keju, burger, pizza, dan makanan-makanan berlemak sebagian besar adalah kesalahan saya, disamping aktivitas fisiknya yang sangat kurang. Daya harus menyetop dan mengendalikan pertambahan berat badannya. 

Saya selalu berdoa untuk kebahagiaan Daya, sekarang dan sampai nanti. Saya sungguh sangat bangga dan bahagia dipercaya mempunyai Daya. Daya adalah idola saya.

NATURE BOY - Cher
00:00 / 00:00
bottom of page