top of page

Harry Roesli

 

Mulai pertengahan tahun 70 an, musik Harry Roesli sudah biasa ‘meneror’ keluarga saya. Pagi, siang, sore, malam, saat alat pemutar kaset hanya ada satu di ruang keluarga. Album-album Titik Api, Ken Arok, Tiga Bendera, Gadis Plastik, LTO, Daun, Ode dan Ode, Kota Gelap, bergantian diputar. Saking seringnya diputar, semua kakak adik saya hafal lirik seluruh lagu, termasuk lirik dalam album Ken Arok yang terkadang diselingi dialog.

 

Dan saking seringnya diputar pada waktu itu, pakde Tjokrosoeseno, kakak ayah saya, yang di masa lalunya adalah seorang konduktor orkestra RRI Surabaya, sempat protes, ‘Lagu kok chorus semua !’. Kala itu yang diputar adalah lagu Tiga Bendera dari album Tiga Bendera. Seperti ini lagunya :

TIGA BENDERA - Harry Roesli
00:00 / 00:00

Beliau juga berkomentar hal yang sama untuk lagu Bharatayudha dari album Gadis Plastik :

BHARATAYUDHA - Harry Roesli
00:00 / 00:00

Buat Harry Roesli yang doktor lulusan sekolah musik di Belanda, membuat lagu tidak harus ada pakemnya. Kepribadiannya sendiri memang sudah keluar dari pakem. 

 

Di album Tiga Bendera itu juga ada lagu Berduka Cita, Tipuan Pandang, Lemah Kingkin, Angin, yang cukup mengikuti kaidah umum aliran sebuah lagu. Itu pendapat saya yang hanya punya kemampuan sebagai penikmat musik. Walau saya paham bahwa Pakde Tjokro saya tercinta itu terbiasa dengan komposisi lagu klasik tanpa syair dan vokal, tapi pandangannya mungkin akan berbeda apabila beliau mau mencoba meresapi syair-syairnya yang menonjolkan sisi romantisme Harry Roesli, yang mewakili keresahan begitu banyak orang Indonesia.

 

Contoh lirik, di lagu Tipuan Pandang :

 

Haruskah aku berpaling,

haruskah aku bertanya, 

dari kehidupan derita,

sengsara serta nestapa mereka.

 

Lihatlah dunia ini,

suatu dunia yang lain,

dunia dibalik fatamorgana,

yang kilau kemilau.

 

Atau kutengadahkan

wajah ini

menatap megah sang surya.

Sementara hati menjerit

mengoyak sukma

berkobar lara.

 

Bila syair belum terasa menggigit, coba dengarkan cara beliau menyanyikannya :

TIPUAN PANDANG - Harry Roesli
00:00 / 00:00

Musik Harry Roesli bagi saya melodinya tidak biasa, lucu dan menggelitik. Walau liriknya terkesan dagelan, namun sarat pesan. Contohnya, pada lagu ini :

SAYA MENDAPAT - Harry Roesli
00:00 / 00:00

Untuk mengenal lebih jauh, saya kutipkan profil mengenai Harry Roesli yang ditulis kang Wiki temannya bang Julian Assange. 

Harry Roesli yang memiliki nama lengkap Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli, lahir di Bandung, 10 September 1951. Beliau adalah tokoh budaya musik kontemporer yang komunikatif dan konsisten memancar kan kritik sosial yang dikemas secara lugas dalam watak musik teater lenong. Harry berpenampilan khas, berkumis, bercambang, berjanggut lebat, berambut gondrong dan berpakaian serba hitam.

 

Harry Roesli yang berdarah Minangkabau, merupakan cucu pujangga besar Marah Roesli. Anak bungsu dari empat bersaudara, ayahnya bernama Mayjen (pur) Roeshan Roesli. Istri Harry Roesli bernama Kania Perdani Handiman dan dua anak kembarnya bernama Layala Khrisna Patria dan Lahami Khrisna Parana.

 

Pada awal 1970-an, namanya sudah mulai melambung. Saat membentuk kelompok musik Gang of Harry Roesli bersama Albert Warnerin, Indra Rivai dan Iwan A Rachman. Lima tahun kemudian (1975) kelompok musik ini bubar.

 

Di tengah kesibukannya bermain band, dia pun mendirikan kelompok teater Ken Arok, 1973. Setelah melakukan beberapa kali pementasan, antara lain, Opera Ken Arok di TIM Jakarta pada Agustus 1975, grup teater ini kemudian bubar, karena Harry mendapat beasiswa dari Ministerie Cultuur, Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM), belajar ke Rotterdam Conservatorium, Belanda.

Selama belajar di negeri kincir angin itu, Harry juga aktif bermain piano di restoran-restoran Indonesia dan main band dengan anak-anak keturunan Ambon di sana. Selain untuk menyalurkan talenta musiknya sekali gus untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari nya yang tidak mencukupi dari beasiswa.

 

Gelar Doktor Musik diraihnya pada tahun 1981, kemudian selain tetap berkreasi melahirkan karya-karya musik dan teater, juga aktif mengajar di Jurusan Seni Musik di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia Bandung dan Universitas Pasundan Bandung.

 

Dia ini juga kerap membuat aransemen musik untuk teater, sinetron dan film, di antaranya untuk kelompok Teater Mandiri dan Teater Koma. Juga menjadi pembicara dalam seminar-seminar di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri, serta aktif menulis di berbagai media, salah satunya sebagai kolumnis Kompas Minggu.

 

Selain itu juga membina para seniman jalanan dan kaum pemulung di Bandung lewat Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang didirikannya. Rumahnya di Jl WR Supratman 57 Bandung dijadikan markas DKSB. Rumah inilah yang pada tahun 1998 menjadi pusat aktivitas relawan Suara Ibu Peduli di Bandung. Rumah ini ramai dengan kegiatan para seniman jalanan dan tempat berdiskusi para aktivis mahasiswa. Dimana kerap lahir karya-karya yang sarat kritik sosial dan bahkan bernuansa pemberontakan terhadap kekuasaan Orde Baru. Bersama DKSB dan Komite Mahasiswa Unpar, Harry Roesli mementaskan pemutaran perdana film dokumenter Tragedi Trisakti dan panggung seni dalam acara "Gelora Reformasi" di Universitas Parahyangan. Dalam acara ini kembali dinyanyikan lagu Jangan Menangis Indonesia dari album LTO (Lima Tahun Oposisi), Musica Studio, 1978.

 

Setelah reformasi, saat pemerintahan BJ Habibie, salah satu karyanya yang dikemas 24 jam nonstop juga nyaris tidak bisa dipentaskan. Juga pada awal pemerintahan Megawati, dia sempat diperiksa Polda Metro Jaya gara-gara memelesetkan lagu wajib Garuda Pancasila.

 

Dari blog Riyan Hidayat mengenai Harry Roesli, saya mengutip :

 

Sebagai seorang seniman Harry Roesli tidak secara gamblang memproklamirkan dirinya sebagai seorang komposer yang “biasa-biasa saja”, namun dia lebih lantang menyuarakan apa yang ingin dia lakukan dari pada memikirkan hal-hal yang bersifat eksplisit dan implisit.

 

Harry memang merupakan seorang komposer, tetapi bukan dalam arti murni, sebab dia lebih mirip seorang seniman “pluralistik“, dimana menciptakan karya hanya merupakan salah satu aspek usahanya.

 

Harry Roesli menuangkan berbagai kreativitas seninya terhadap idealisme seorang “seniman sosial” yang bergerak untuk memperhatikan kehidupan anak-anak jalanan. Ia berdiri dalam tiga paradigma yang kritis terhadap rezim pemerintahan yang kurang sejalan dengan pemikirannya, mendidik dan berkarya sebagai seorang seniman yang utuh.

 

Selain sebagai seorang seniman, Harry Roesli juga sebagai seorang pelatih musik. Karya-karyanya yang seolah jauh dari nilai komersil merupakan alat yang digunakan dalam mengekspresikan perasaan hatinya terhadap situasi sosial dan  politik yang sedang terjadi. Beberapa dari ekspresi itu sering ditularkan kepada anak didiknya lewat berbagai cara, termasuk mewadahi anak-anak jalanan lewat pelatihan musik.

 

Sosok Harry Roesli yang memiliki banyak dimensi dalam kehidupannya diasosiasikan dalam satu komunitas. Segala bentuk kegiatan berkesenian yang terjadi di dalamnya dihimpun dalam RMHR. Di dalam tubuh RMHR sendiri terdapat banyak produk, salah satunya adalah Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB). Terlepas dari berbagai persoalan di dalamnya, RMHR masih tetap eksis dan memiliki formula yang unik dalam merekrut anak-anak jalanan dan melatih musiknya.

 

Beberapa anak-anak jalanan dididik menggunakan metode tertentu. Salah satu  indikatornya adalah mereka mampu memainkan beberapa dari karya Harry Roesli yang terkenal dengan “musik kolase”-nya dengan tingkat kompleksitas yang cukup tinggi.  

 

Kiprah di Dunia Musik

 

Harry Roesli memang seorang seniman yang “fluktuatif”, dalam arti tidak memiliki pakem tertentu terhadap penuangan ide-ide dalam karya-karyanya. Dia selalu mengalir. Titik balik kariernya yang semakin mantap berawal dari keputusannya untuk melanjutkan studi yang ia dapat melalui beasiswa di Rotterdam Conservaorium Den Haag, Belanda. Pada saat itu gaya bermusiknya banyak terinspirasi pada John Milton Cage Jr, band Gentle Giant dan komposer Frank Zappa. Ini dapat diidentifi-kasi melalui komparasi secara auditif.

 

 

 

  

Yang agak membedakannya dari Frank Zappa, Harry Roesli selalu mengutamakan aktivitas sosial yang konkret di luar musiknya sendiri. Dilihat dari sudut ini, Harry Roesli juga biasa disebut sebagai seorang “pembantu sosial karismatik” yang menggunakan medium musik demi berbagai tujuan sosial tertentu.

 

Selain berkarya, Harry banyak terlibat dalam beberapa kegiatan yang bukan hanya mengusung misi kemanusiaan tetapi memiliki dampak yang cukup besar.

 

Pada tanggal 12 April 1975, Nama Harry Roesli mulai dikenal luas dengan pergerakannya membuat pertunjukan “Rock Opera Ken Arok” di Gedung Merdeka Bandung. Harry Roesli lebih cenderung menamakan kegiatannya itu Wayang Orang Kontemporer. Pergelaran yang banyak menarik perhatian itu dipentaskan ulang pada 2 Agustus 1975 di Balai Sidang Jakarta. Rock Opera Ken Arok-nya mulai merambah ke berbagai daerah di Indonesia termasuk ke Semarang pada Januari 1976. Tetapi, pergelarannya dihentikan oleh yang berwajib dengan alasan naskah pertunjukan terlambat tiba di meja pemberi izin. Pencekalan pergelaran memang sering terjadi pada masa Orde Baru. Yang jelas, pencekalan itu bukan karena musik rock atau jenis musik lain yang diramu oleh Harry Roesli, melainkan karena aspek bahasa atau liriknya yang kurang berkenan di telinga para penguasa “Orde Baru” saat itu.

 

Gaya Musik Harry Roesli

 

Harry Roesli merupakan seniman yang duduk diantara beberapa “kursi”. Pengkategorian itu dapat dibedakan berdasarkan riwayat hidupnya yang berawal dengan para sahabatnya membentuk band yang bernama “Philosophy Gang of Harry Roesli”pada tahun 1973-1979yang sukses menghasilkan album pertama yang dinamai sama dengan nama bandnya. Bandnya itu domotori oleh Albert Warnerin (gitar), Janto Soedjono (drum, perkusi), Indra Rivai (keyboard), Harry Pochang (harmonika, vokal) dan Dadang Latief (gitar). Rully, adik dari istri Harry Roesli mengatakan bahwa “proses bermusik seorang Harry Roesli selama hidupnya sangat dipengaruhi oleh orang – orang yang berada di sekitarnya ataupun kecendrungan musik dari luar negeri dan juga pengalaman dia mendapatkan pendidikan” (manuskrip pribadi).

 

Bersama bandnya, Harry Roesli berhasil membuat sebanyak 13 album yang terhitung cukup produktif, yaitu:

 

1.   Philosophy Gang of Harry Roesli – Musica 1973

2.   Titik Api – Aktuil Musicollection 1976 (album solo)

3.   Ken Arok – Eterna 1977 (album solo)

4.   Tiga Bendera – Musica Studio’s 1977 (album solo)

5.   Gadis Plastik – Chandra Recording 1977 (alb solo)

6.   LTO – Musica Studio’s 1978 (album solo)

7.   Harry Roesli dan Kharisma 1 – Aneka Nada (1977)

8.   Musik Akustik Monticelli – Hidayat Audio (1977) (

9.   Harry Roesli dan Kharisma 2 – Aneka Nada (1978)

10. Jika Hari Tak Berangin – Aneka Nada (1978) (solo)

11. Daun – SM Recording (1978) (album solo)

12. Ode dan Ode – Berlian Record (1978) (album solo)

13. Kota Gelap – Purnama Record (1979) (album solo)

 

Di beberapa album tersebut, terdapat beberapa benang merah dan ciri-ciri yang menggambarkan secara umum gaya bermusik seorang Harry Roesli.

 

Di Album pertama, Harry Roesli tampak  menggabungkan berbagai nuansa, seperti rock, funk, folk, blues,  R&B serta jazz. Harry tidak  ingin terkotak dalam satu genre musik karena dia ingin bebas memainkan apa yang disukainya. Harry didukung oleh pemusik yang paham kemauannya seperti Albert Warnerin yang memiliki sentuhan progresif dalam pola permainan gitarnya, Harry Pochang dengan permainan harmonikanya yang ‘bluesy’ (kental dengan blues), dan Indra Rivai yang saat itu juga tergabung sebagai pemain keyboard Bimbo dan memberikan kontribusi yang unik melalui permainan keyboard-nya.

 

Pada album keduanya yaitu “Titik Api” sampai ke album keempat yaitu Tiga Bendera” , disinilah Harry  mulai memadukan antara unsur musik tradisi (pentatonik) yang direpresentasikan melalui  instrumen musik gamelan, terompet pencak, karinding dan lain-lain. Sebagai representasi dari  unsur musik modern (diatonik) menggunakan instrumen gitar, bas, drum, keyboard dan lain-lain.  Karya Harry ini  banyak ditentang oleh para pemusik tradisi pada saat itu. Mereka beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh Harry merusak musik tradisi.  Tetapi tidak semua pemusik tradisi pada saat itu menentang, ada pula yang mendukung Harry, salah satunya adalah Raden Ading Afandi yang dikenal sebagai pendiri group “Lingga Binangkit” dan “Patria”.

 

Pada album “Gadis Plastik”sampai album “Kota Gelap”, Harry mulai meninggalkan “gaya” musik yang memadukan musik tradisi dengan musik modern dan kembali pada format album pertama. Yang membedakannya kali ini, Harry dipengaruhi oleh beberapa “band Barat” yang sedang popular saat itu yang dibawakan oleh group dari luar negeri, seperti Gentle Giant, Pink Floyd, Santana, Emerson lake and Palmer, Jimie Hendrix, Frank Zappa, dan lain-lain.  Secara tidak langsung Harry memperkenalkan gaya kontrapung-nya (suatu komposisi musik dengan gaya bersahut-sahutan atau jalur melodi berlawanan) Gentle Giant, struktur harmoni para pemusik Barat pada saat itu, gaya komposisi dan penulisan liriknya Frank Zappa semuanya menjadi ide pokok yang terdapat juga dalam karya-karya Harry Roesli.

 

Lirik juga menjadi senjata yang tak kalah pentingnya bagi seorang Harry Roesli. Melalui lirik ia menyampaikan pesan-pesan yang tersirat dan penuh dengan ruang untuk berinterpretasi. Denny Sakrie (seorang pengamat musik) mengulas tentang gaya penulisan lirik yang terdapat pada lagu “Malaria”:

 

Ketrampilan Harry Roesli merangkai lirik pun telah terurai jelas jika disimak, Sensitivitas Harry Roesli sebagai seniman memang setajam pisau. Harry merasa rakyat, sebagai wong cilik, merupakan makhluk tiada daya sama sekali. Namun, Harry beranggapan bahwa jangan anggap remeh rakyat kecil. bagi Harry, rakyat kecil memang tak lebih dari seekor nyamuk, yang sekali tebas langsung mati terkapar. Namun nyamuk itu adalah malaria, yang mampu menyebar virus mematikan dalam arti sebenarnya. 

Di tahun 1995 saya sempat bertemu kang Harry di kantor saya. Saya minta dibuatkan musik rekaman ciptaannya berupa satu kaset bolak balik untuk keperluan acara golf PBB yang mengundang duta-duta besar di Jakarta.

 

Seperti seringkali terlihat, beliau datang berpakaian hitam ala Baduy, bersarung dan berikat kepala hitam, dan juga berkacamata hitam. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan berbincang dengan orang yang musiknya saya dengarkan sejak saya es-em-pe. Walau terlihat tergesa beliau dengan ramah menjelaskan mengenai rekaman yang dia buat tersebut. Musiknya indah sekali. Sesuai tema pesanan saya, kang Harry memasukkan unsur-unsur Jepang, Spanyol, India, Cina, western, dan ciri khas musik negara-negara lain dalam karyanya. Serasa semakin kaya perkenalan saya terhadap musik kang Harry setelah mendengarnya. Harry Roesli dari sisi yang sangat lembut, tanpa kekecewaan, tanpa kemarahan. Yang ada hanya indahnya suara air, hujan, angin, bel sepeda, desahan, diantara gitar, suling, tifa, synthesizer, dan lainnya. Dengan seijin kang Harry, kaset tersebut juga kami putar ketika kantor saya ikut dalam penyelenggaraan Expo di Roma tahun 1996. Dan tanpa seijin kang Harry, saya meminjamkan kaset tersebut kepada adik saya untuk diputar di acara pernikahannya. Belakangan saya mengirimkan copy-nya kepada kang Ruli di RMHR yang sedang mengumpulkan karya-karya tercecer Harry Roesli.

 

Itu sekali-sekalinya bisa berbicara langsung dengan beliau. Sebelumnya, saya hanya melihatnya seliweran di GKJ atau di GBB di pertunjukan teater saat beliau bertugas sebagai penata musiknya. Seperti di pertunjukan : Cas Cis Cus dari teater Mandiri ; dan juga Opera Ikan Asin, Opera Salah Kaprah, Opera Kecoa, Wanita-Wanita Parlemen, Opera Julini, RSJ dari teater Koma. Saya lupa apakah di lakon RSJ yang saya tonton di GKJ penata musiknya juga Harry Roesli. Yang saya ingat, saat itu saya cukup ‘terteror secara menyenangkan’ ketika kita baru masuk selasar GKJ sudah disuguhi satu bar musik khas Harry Roesli yang diulang-ulang, sementara bau karbol khas rumah sakit yang sengaja di sebar cukup menusuk penciuman kita.

 

Nano Riantiarno, sahabat beliau dari teater koma menyebutnya sebagai Presiden Musik Indonesia karena karya-karya musiknya yang menggugah, inspiraf dan patriotik. Totalitasnya patut diteladani, kontribusinya tulus, keikhlasannya dalam memberi selalu mengharukan, dan humornya serasa tak kunjung habis.  

 

Harry Roesli meninggal dunia hari Sabtu 11 Desember 2004, pukul 19.55 di RS Harapan Kita, Jakarta.

 

Ketika bulan Juni 2009 kami berempat memenuhi undangan untuk hadir pada pertunjukan 'Titik Api' yang diselenggarakan oleh Rumah Musik Harry Roesli di Sasana Budaya Ganesha Bandung, yang tersisa di hati adalah harapan akan munculnya orang hebat Indonesia lainnya di bidang musik, sekaliber Harry Roesli.

 

Lagu-lagu Harry Roesli lainnya di website ini :

ZAMAN - Harry Roesli
00:00 / 00:00
SEMUT - Harry Roesli
00:00 / 00:00
LAGU RIMBA - Harry Roesli
00:00 / 00:00
SATU JAM SAJA - Harry Roesli
00:00 / 00:00
JANGAN MENANGIS INDONESIA - Harry Roesli
00:00 / 00:00
MALARIA - Harry Roesli
00:00 / 00:00
BERDUKA CITA - Harry Roesli
00:00 / 00:00
SEKUNTUM KEMBANG - Harry Roesli
00:00 / 00:00
SI GITAR SATU SENAR - Harry Roesli
00:00 / 00:00
bottom of page