top of page

ROSYANA CUP

 

Rumah masa kecil pasti memiiki tempat tersendiri di hati kita. Di sanalah memori indah mengenai masa kecil tertumpu. Demikian juga bagi saya, dan juga saudara-saudara saya lainnya. Yang paling terekam adalah kami paling senang saling mengganggu, mengusili, dan meledek satu sama lain.

 

Model becandaan saya dan ke-enam saudara saya bisa dibilang ‘kelas kampung’. ‘Norak’ dan ‘jorok’.  Sebagai bahan ledekan, waktu kecil masing-masing kami dipasangkan dengan orang-orang sekitar yang aneh-aneh, dan harus aneh. Entah aneh rupanya atau aneh tingkahnya. Pacar yang diberikan tetap, sehingga kadang-kadang bila bertemu dengan ‘pacar’ menjadi salah tingkah sendiri. Bisa jadi, mereka yang tidak tahu menahu soal cap ‘pacar’ yang diberikan kepada mereka oleh kami, menjadi salah pengertian kemudian malah merasa jijik dengan kami. Hehe .. 

 

Di acara makan, setiap dari kami harus awas. Terutama bagi yang berprinsip ‘bagian terenak dimakan terakhir’. Di akhir-akhir acara makan, mata sudah larak-lirik, setiap pergerakan berdiri dari kursi untuk urusan apapun pada momen itu haruslah dicurigai. Karena bisa-bisa, bagian kuning telor ceplok misalnya, yang disayang-sayang, berpindah mulut dengan cepatnya. Dan kalau itu kejadian, si empunya hanya bisa menggerutu diantara tertawa puas saudara-saudara lainnya. Paling-paling dia cuma teriak : ‘Mama .... !’.  Mengadu sambil pasrah. Untungnya saya penganut ‘seluruh bagian dibagi rata’ sepanjang acara makan sampai nasi dan lauk bagian apapun habis bersamaan.

 

Minuman seperti kopi, teh atau susu yang sengaja dibuat salah seorang dari kami harus dijaga dengan memasukkan jari sebagai pengocoknya, atau memasukkan jari ke lubang hidung kemudian mencelupkannya ke minuman (walau saya tahu dia memasukkan jari yang berbeda). Setelah itu dilakukan, barulah acara mengobrol berjalan dengan santai tanpa ancaman. 

 

Diantara saudara laki-laki saya, apabila memakai kaos ketat dan terlihat puting di dada, itupun menjadi ancaman serius dari cubitan. Yaaaki’ ... ya ?  Tidak pernah ada yang menangis karena becandaan. Paling-paling saling mengingatkan : ‘Ayo ... kalo becanda yang mesraaa yaa ...’. Maka mereka yang sedang bergulat atau berkejaran, yang mempertahankan dadanya dari cubitan dan yang menyerang sasaran, akan berpelukan, mencium, mencolek-colek pipi, untuk mencari kesempatan kepada sasaran semula. Puting.

 

Kami kompak. Walau bukan tanpa konflik. Seingat saya tidak banyak konflik diselesaikan tuntas, lebih banyak diserahkan kepada waktu, karena seringkali konflik hanya disebabkan kesalahpahaman. ‘The general’ menurut istilah adik saya nomor enam (saya lupa bagaimana istilah itu bermula, pasti adik saya yang waktu itu maih kecil mengira bahasa Inggrisnya kesalahpahaman adalah the general). Kemudian ‘the general’ menjadi istilah umum bagi kami untuk menyebut kesalahpahaman.

 

Sampai saat ini becandaan norak tidak pernah berkurang tanpa merasa gengsi terlihat kekanak-kanakan di mata anak-anak kami. Rumah masa kecil menjadi tempat khusus di hati kami. Ketika ayah kami berpulang, maka fokus perhatian kami tertuju pada mama. Kembali ke rumah sepanjang masa kemudian berarti kembali ke mama. Berbagai program digelar. Mulai dari ‘menyeret’ saya dan keluarga pulang, sampai kepada menggelar ‘Rosyana Cup’.

 

Kejuaraan yang digelar satu tahun sekali, di saat ulang tahun beliau tanggal 23 September, memang didedikasikan untuk beliau, Ibu Rosyana tercinta. Tahun ini sudah memasuki tahun ke sepuluh.  Berbagai permainan dan perlombaan telah diselenggarakan. Ada piala tetap bagi keluarga pemenang, tetapi ada ‘Rosyana Cup’ sebagai piala bergilir. Di situ akan ditulis seluruh keluarga pemenang dari tahun ke tahun. Seluruh keluarga besar sudah pernah memegang piala bergilir tersebut.

 

Bila kami sebut keluarga besar, itu artinya termasuk adik mama, tante Sabriana yang biasa saya panggil bunda. Setelah tante kami tercinta itu berpulang, keluarga besar kami termasuk keluarga adik laki-laki mama, Mak etek Darul.

 

Di tahun pertama, pertandingan bulutangkis, dimenangkan oleh keluarga Sabar Basuki, adik ke enam saya. Keluarga ini penuh strategi dengan semangat kompetisi yang sangat kuat. Di tahun ke dua, pertandingan bakiak keluarga (bakiaknya panjang) dimenangkan oleh keluarga saya, dengan sangat gemilang (!...?). Di tahun ke tiga, pertandingan ‘tepokan’, dimenangkan oleh group Ibu saya, tante Sabriana, dan adik bungsu saya Evi Sri Rejeki. Tepokan adalah permainan kartu yang brutal, dimana peserta yang paling lambat menepokkan tangannya di kartu yang dibuka yang sesuai dengan urutan yang disebutkan, akan kalah. Tidak jarang sasarannya justru pada menepokkan tangan ke tangan lainnya dengan keras. Raja lihai yang penuh strategi dalam permainan ini adalah kakak ipar saya Riza Efani.  Di tahun ke empat, pertandingan memecahkan balon berisi air, dimenangkan oleh keluarga Wahyudi, adik nomor lima. Kemenangan tidak bisa dianulir walau bukti foto kemudian memperlihatkan berbagai pelanggaran aturan. Hehe ...  

 

Di tahun ke lima, keluarga kakak perempuan saya nomor dua, Dwi Rosnarti, memenangkan pertandingan gaplek. keluarga Irianto, adik yang persis di bawah saya memenangkan perlombaan Gebuk Bantal, di tahun ke enam. Ini benar-benar perlombaan brutal yang apabila kita kalah akan tercebur ke empang yang airnya keruh. Di tahun ke tujuh, keluarga Sabar Basuki kembali menang di perlombaan kartu Remi. Embun Dinihari dan kakaknya Air Mengalir, sebetulnya yang menjadi penentu kemenangan. Bahkan dik Embun baru belajar main Remi beberapa saat sebelum pertandingan dimulai. Di tahun ke delapan, keluarga Eddy Purwantoro, kakak tertua saya memenangkan pertandingan ‘tebak kata’, melalui acara suit yang menegangkan di penentuan terakhir pemenang, karena memiliki nilai yang sama dengan keluarga Irianto.  

 

Di tahun ke sembilan, September 2014, ibu saya mulai menurun kondisi kesehatannya. Kami menyelenggarakan hari ulang tahunnya sekaligus Rosyana Cup di rumah saja. Tahun ini kami menggelar pertandingan menyanyikan lagu-lagu mama, dengan juri ‘tunggal’, mama. Tahun ini keluarga Duren Sawit, keluarga Mak Etek Darul, keluar sebagai pemenangnya mengalahkan keluarga lain dari yang menyanyi memakai perangkat digital canggih, yang memakai alat musik, bahkan yang khusus memakai seragam panggung. Walau isteri Mak Etek Darul berasal dari keluarga band dan keroncong yang suaranya merdu, kemenangan mereka lebih karena si kecil Azka. Rosyana Cup adalah piala pertama Azka di usianya yang belum genap satu tahun.

 

Perebutan Rosyana Cup memang biasanya memakan waktu satu hari di hari ulang tahun ibu saya, atau paling lama dua tiga hari bila penyelenggaraannya sambil menginap di satu tempat liburan. Tetapi, gaung Rosyana Cup biasanya sudah dimulai sejak sebulan sebelumnya. Psy war, perang urat syaraf, saling ledek, pertanyaan-pertanyaan mengenai jenis permainan yang akan dipertandingkan (pemenang sebelumnya berhak menentukan jenis pertandingan berikutnya), informasi-informasi jenis pertandingan yang dipirit-pirit, sudah dilemparkan melalui fb group, bb group, dll. 'Perang' sesungguhnya ada di sana.

 

Rosyana Cup menjadi piala bergengsi bagi keluarga besar saya, karena memang didekasikan untuk Ibu Rosyana, ibu kami tercinta. Di peristiwa setahun sekali tersebut, mama terlihat bahagia. Walau tahun-tahun belakangan kondisi fisiknya menurun, beliau dengan terbata-bata masih memberikan pidato di akhir acara mengenai harapan-harapannya terhadap anak-anaknya untuk tetap saling mendukung dan saling menyayangi.

 

Kami saling menjaga. Fokus kami, pemikiran dan perasaan, tertuju kepada ibu kami tercinta. Bagaimana menjaganya tetap dalam kondisi prima di usianya, sambil berharap bisa terus dan terus menyelenggarakan Rosyana Cup di tahun-tahun mendatang. Insya’Allah.

IBU - Iwan Fals
00:00 / 00:00

Biarpun sholatmu beribu-ribu rakaat, sedekahmu berjuta-juta rupiah, hajimu berkali-kali, tapi saat kau gores hati ibumu, surga bukan milikmu.

 

@tausiahku

bottom of page