top of page

Kita dan Dewi

 

 

Dewi masih duduk di bangku di bawah pohon dan bersandar di batang pohon sengon tua itu. Masih di posisi yang sama, dengan raut muka yang sama, seperti ketika saya melihatnya dua jam sebelumnya. Saat itu saya sedang di perjalanan menuju kantor klien di Rasuna Said. Saya berkeras ingin menghampirinya, walau di pertemuan terakhir saya dengannya, Dewi lebih banyak diam. Di pertemuan sebelumnya itu matanya menerawang, dan sesekali memandang sekitar dengan curiga. Walau terlihat kesal entah kenapa, dia tampak terganggu ketika saya pamit. ‘Mau ke mana bu ?’ tanyanya. Saya tidak menjawab pertanyaannya, hanya berucap : ‘Baik-baik ya kamu Wi’.

 

Melihat wajah yang lebih murung dibanding biasanya, saya sangat ingin mampir. Sekitar enam kali sudah saya berbincang dengan Dewi dan beberapa teman-teman jalanannya di pojok jalan itu. Sebagaimana anak jalanan lainnya yang tidak ekspresif, selalu tidak ada kejutan baginya atas kehadiran saya. Atau mungkin, dia sudah terlatih untuk tidak ‘kagetan’ terhadap apapun yang terjadi di sekitarnya. Dua hal yang saya berharap tidak menimpanya, adalah tidak menjadi korban pelecehan seksual, dan tidak ikutan ‘ngelem’.  

 

Dewi, anak duabelas tahun, berpostur bongsor, tanpa ayah tanpa ibu tanpa saudara. Dia di Jakarta tinggal di rumah saudara dari tetangganya di Parung, tempat asalnya. Walau resminya dia tinggal di jalanan, di emper toko, di bangku taman, dia mengaku sesekali tetap pulang ke rumah saudara tetangganya itu. Biasanya untuk mandi, berganti pakaian, dan memberi sedikit uang untuk si empunya rumah.

 

Dewi terlihat berbeda dibanding anak lainnya. Senyumnya sedikit dan sederhana, bila melihat tingkah laku konyol teman-teman jalanannya. Sementara anak-anak lain berteriak-teriak sambil tertawa terbahak-bahak dia hanya tersenyum kecil sambil memiringkan sedikit kepalanya. Dengan wajah keras tetapi manis yang dimilikinya, Dewi tampak berbeda.

 

Beberapa temannya berebut bercerita, bahwa Dewi itu galak tidak ada yang berani menyentuhnya. Dewi pernah ditampar sampai jatuh karena tidak mau memberikan uangnya ke preman yang berusaha memalaknya, dan dia tetap tidak memberikannya. Kalau dikejar kamtib, Dewi belum pernah tertangkap karena dia selalu awas terhadap situasi sekelilingnya. Selain memang larinya kencang. Dari cerita-cerita teman-temannya, ternyata Dewi tidak pernah coba-coba 'ngelem'. Tidak seperti ketika pertama kali dia berkarir di jalanan, tidak ada yang berani mengusir Dewi dari daerah itu lagi. Tapi sampai kapan dia bisa bertahan. Di kerasnya kehidupan jalanan, saya sungguh khawatir.

 

Saya belum bisa masuk terlalu jauh ke dalam dirinya. Ada kharisma tertentu di anak itu yang menyebabkan saya harus menunggu menawarkan kehidupan lain baginya. Saya berencana akan menitipkan dia ke Ustad Nana di Karawang agar bisa sekolah dan belajar mengaji. Tetapi sampai terakhir pertemuan saya dengannya, saya belum tahu persis keinginannya.

 

Hari itu saya memang akhirnya menghampiri Dewi. Dia menangis. Teman-temannya hanya geleng-geleng kepala dan mengangkat bahu, ketika saya memandang kepada mereka minta penjelasan. Sedangkan Dewi hanya menyandarkan kepalanya di tangan saya yang merangkul bahunya. Saya tidak memaksanya bercerita ataupun berkata-kata apapun. Saya hanya ikut merasakan kepedihan hatinya dari sesenggukan kecilnya. Dia hanya menggeleng ketika saya mengajaknya makan dan pergi dari situ. Dia bahkan menolak ketika saya memberanikan diri memasukkan uang ke kantongnya. Dia tidak pernah mau menerima pemberian uang dari saya. Kalau ditraktir teh kotak atau somay dia belum pernah menolak, selama saya juga minum teh kotak atau makan somay.

 

Itu pertemuan terakhir saya dengannya. Tidak ada yang tahu keberadaannya. Berkali-kali saya mampir, di pojokan jalan itu, tidak ada yang bisa memberi penjelasan. Saya diantar ke rumah saudara tetangganya. Dengan setengah tidak peduli mereka berkata tidak pernah melihatnya lagi. Dan mereka memastikan, Dewi tidak pulang ke Parung karena dia tidak punya siapa-siapa dan apa-apa di sana. Namun, ada seseorang yang melihatnya 'ribut' dengan beberapa anak laki-laki tanggung sekitar seminggu sebelum Dewi menghilang.

 

Ada ribuan Dewi yang hidup di jalanan Jakarta. Kekerasan yang sangat marak menimpa mereka adalah trafficking dan penganiayaan.  

 

Ada lebih dari tujuh ribu Dewi yang hidup di jalanan Jakarta. Dan saya, tidak mampu meraih walau hanya untuk satu Dewi.

GANGSTER PARADISE - Coolio
00:00 / 00:00
bottom of page