top of page

Bunda, yang nama lengkapnya Sabriana Sabar, adalah adik perempuan ibu saya. Di saat saya dan saudara-saudara saya kecil, beliau adalah tante yang paling sering membawa makanan dan buah-buahan ketika datang berkunjung. Di saat kami dewasa, beliau bercerita bahwa kami adalah keponakan-keponakan yang menyenangkan, dan santun. Beliau merasa senang karena apapun yang beliau bawa akan dihabiskan bersama-sama dengan tertib. Kalau dipikir-pikir memang begitulah kami. Terbayang di memori saya, tante Sabriana sekali waktu membawa banyak sekali rambutan, kami merubung duduk di sekitar meja, berbincang dengan beliau sambil mulut terus memakan rambutan pemberiannya. Ketika seluruh rambutan habis tak tersisa dan sisa-sisa daun dan biji rambutan telah dibereskan, kami dengan tertib bubar. Kembali ke aktifitas kami semula. Selanjutnya beliau akan sibuk berbincang dengan ibu kami.

 

Di saat SMA, saya cukup sering menginap di rumahnya di kawasan Kebon Sirih waktu itu. Beliau orang yang tertata, terorganisir, bersih, dan rapih. Sepintas terlihat sebagai pribadi yang keras terhadap dirinya sendiri dan orang lain, tapi di mata saya beliau adalah pribadi yang hangat, sangat perhatian, dan terbuka. Mengenai keterbukaan, tanpa sadar akhirnya sayapun berbuat hal serupa. Setiap saya berganti teman dekat, saya akan memperkenalkannya kepada tante Sabriana di kediamannya.

 

Tante Sabriana, selalu sebagai orang pertama yang menelpon mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya. Biasanya setelah sholat subuh, karena hampir selalu sebelum pukul 06:00 pagi. Pada hari itu atau di kesempatan selanjutnya, beliau akan datang membawakan hadiah yang rupanya telah dipersiapkan. Karena saya pernah melihat tumpukan bungkusan kado-kado ulang tahun di kamarnya, rasanya hal yang sama dilakukannya juga kepada kerabat lainnya dan juga teman-temannya. Tradisi mengucapkan selamat ulang tahun juga berlanjut kepada anak-anak saya. Di saat saya memiliki Rama, si bontot saya, beliau mulai membahasakan dirinya sebagai bunda.

 

Setelah pensiun dari Bank Indonesia, kantor sepanjang hidupnya, bunda senang melakukan perjalanan melanglang buana, termasuk berhaji dan beberapa kali melakukan umroh. Saya tidak terlalu intens bertemu dengannya secara fisik di saat-saat tersebut. Namun apabila beliau sedang berada di Jakarta, dan ada sesuatu yang mengganggu hatinya, beliau akan menelpon saya. Kekecewaan, keresahan, ditimpali dengan menetralisir kata-kata karena mungkin khawatir saya ikut bersedih atau merasa kesal.

 

Ketika saya merencanakan acara pernikahan, salah satu hari terpenting dalam hidup saya, bunda menjadi satu-satunya keluarga yang langsung menudukung saya secara pribadi. Ketika itu saya berkeinginan menyelenggarakan acara pernikahan dengan sederhana dan tanpa menggunakan adat istiadat yang menurut saya, tidak saya kenal dan merepotkan. Dan kata-katanya yang menyemangati saya waktu itu, sungguh membuat saya terharu.

 

Bunda, bagi saya selalu penuh kejutan. Diantaranya, suatu kali tiba-tiba beliau dan mobil forsa-nya sudah berdiri di depan pagar rumah saya di Cikoko. Padahal dia belum pernah ke sana, dan menurut pengakuannya hanya tahu bahwa rumah saya ada di belakang wisma Kalimanis (sekarang Wisma Hijau). Menurutnya, dia hanya tinggal melihat rumah dengan sesuatu yang aneh dan tidak biasa yang khas saya. Dengan melihat kursi rotan bulat besar di teras rumah saya, menurutnya, beliau bisa pastikan itulah rumah saya. Seringkali beliau juga tiba-tiba menelpon dari mobilnya yang diparkir di depan kantor saya, di Tebet. Beberapa kali kemudian kami akan makan siang bersama di soto kudus dekat kantor sambil berbincang. Atau sekedar ngobrol di dalam mobilnya.

 

Dengan kerabat lain, bunda juga memiliki kedekatan. Beliau dekat dengan saudara-saudara saya lainnya ; juga dengan keluarga Mak Etek Darul, mbak Endang dan anak-anaknya ; juga terutama dengan keluarga tante Melly, yang bahkan Hendri Dedi anaknya sudah dianggap anaknya sendiri ; juga dengan keluarga Syafaruddin dan keluarga Rozana,  kakak-kakaknya ; termasuk juga dengan keluarga Oma Turseha yang rumahnya menjadi tempatnya menghabiskan masa muda sebelum memiliki tempat tinggal sendiri. Karena bunda tinggal sendiri, seluruh keluarga besar memberikan perhatian ekstra besar kepada beliau, sebesar beliau juga melakukan hal yang sama.

 

24 Juni 2010, beliau menelpon saya karena merasa lemas dan berkeringat dingin. Saya dan sopir saya Marsito segera menuju Bidakara Tower. Saya memintanya duduk saja dulu di depan klinik dan tidak kemana-mana, agar bila terjadi sesuatu segera bisa ada tindakan. Beliau memang terlihat tidak berdaya dan saya membalurinya dengan minyak kayu putih yang saya beli di apotik klinik. Ternyata sebelumnya beliau habis bertemu dokter di klinik pensiunan BI tersebut, setelah beberapa hari merasa tidak enak badan. Setelah saya membaca diagnosa, saya kembali menemui dokternya. Dokter merujuknya ke spesialis penyakit dalam di rumah sakit MMC. Saya memutuskan membawanya ke MMC saat itu juga, walau bunda berkeras untuk membawanya pulang terlebih dahulu. 

 

Ketika itu beliau masih mempermasalahkan mobilnya yang terparkir di basement. Setelah saya menelpon kakak tertua saya untuk mengurusnya, beliau lebih tenang ketika saya bawa ke MMC. Mengenai hal-hal yang membutuhkan keputusan cepat, saya terbiasa meminta pendapat adik laki-laki saya, Irianto. Selain masukan dari suami saya, masukan dari adik laki-laki saya ini selalu membuat saya pede melakukan sesuatu secara cepat dan tepat, di saat saya tidak sepenuhnya dapat mengandalkan pemikiran diri sendiri.

 

Berbagai pemeriksaaan dilakukan dan ternyata ada masalah di lever-nya, yang seharusnya sudah harus ditindaklanjuti ketika pertama kali beliau mengalami hal serupa beberapa tahun sebelumnya. Kemudian saya menghubungi kakak dan adik beliau untuk berembuk dan meminta berbagai pertimbangan. Selama empat hari di MMC, kami dirujuk ke profesor Lesmana di rumah sakit Medistra. Karena rumahnya di daerah Bekasi, saya membawanya ke rumah selama satu hari menunggu saya memproses dan bertemu dengan profesor Lesmana. Bunda, secara khusus meminta saya untuk tidak membawanya ke tempat lain karena beliau mau dekat-dekat kakak tertuanya, ibu saya.

 

Di Medistra, berbagai pemeriksaan dilakukan sebelum akhirnya tim dokter menyatakan bahwa ada kanker di lever bunda. Saat itu CA-nya sudah di angka 500-an. Tim dokter yang lebih besar, karena melibatkan para spesialis dari RSCM dan beberapa RS lain yang dikumpulkan oleh Prof Lesmana, akhirnya menyatakan ketidaksanggupan untuk mengambil si kanker yang berada di dalam gumpalan hati. Saya, kakak tertua saya - Ipung, paman saya – Mak Anjang, dan om saya – Mak Etek, menjadi tim yang kompak dalam memutuskan berbagai persoalan di harapan kesembuhan bagi bunda. Saudara-saudara saya, mak etek Darul dan isterinya bergantian menjaga keseharian bunda di rumah sakit. Tidak mudah membuat jadual jaga di sela-sela kesibukan kerja mereka, olehkarenanya lebih banyak kami menjalaninya berhari-hari berdua saja, dibantu suami dan kedua anak saya.

 

Seringkali bunda ‘mengusir’ saya untuk pulang, dengan alasan beliau akan menelpon bila ada apa-apa. Beberapa kali hal itu dilakukan, tetapi lebih sering suster jaga rumah sakit yang menelpon saya apabila prof Lesmana atau dokter lainnya ingin bertemu saya. Saat itu, suami saya meminta saya mengambil cuti dari pekerjaan kantor untuk lebih fokus ke masalah yang sedang dihadapi bunda. Saya lebih memilih meminta bantuan saudara-saudara saya lainnya untuk menggantikan saya memberi perhatian kepada ibu saya, di rumah.

 

Tidak mudah bagi kami bertiga (saya, kakak, om) secara waktu untuk memutuskan sesuatu karena di tengah tingginya tensi kesibukan, kami harus menjemput paman saya di rumahnya sebagai orang tertua diantara kami, agar dapat ikut dimintai pendapatnya.

Fisik paman saya juga sudah tidak sekuat sebelumnya. Seringkali beliau merasa sedih karena tidak bisa menjenguk adik terkasihnya, tanpa dijemput. Sekali waktu, bunda merasa kesal saking rindunya sementara paman tidak kunjung datang, dengan tidak mau dijenguk ketika paman saya akhirnya datang.

 

Akhirnya, kami memutuskan untuk melakukan operasi dengan metode cryosurgery atau pembekuan di Guangzhou atas rekomendasi prof Lesmana. Sebelumnya prof Lesmana sudah melakukan komunikasi dengan temannya di RS Guangzhou. Sayapun sempat berkirim email dengan temannya itu. Mengenai tempatnya, tim sudah pula mendapat rekomendasi mengenai berbagai hal di Guangzhou dengan mengunjungi salah satu klinik pengobatan Cina di daerah Tangerang.

 

Bersama om saya dan isterinya Mbak Endang, bunda diterbangkan ke Guangzhou dengan bantuan tak terhingga dari Uni Wiwiek, keluarga oma Turseha lainnya, dan pihak Garuda Indonesia. Waktu berangkat CA-nya sudah di angka 800-an. Pengobatan di sana sukses dengan berbagai kendala yang terselesaikan berkat kegigihan, kesabaran, dan perjuangan om dan tante saya yang mendampinginya. Banyak doa dari seluruh kerabat yang dilayangkan melalui fb yang saya buat atas nama bunda. Di fb tersebut saya meng-update segala perkembangan pengobatan beliau di Guangzhou.

 

Sekitar sepuluh hari kemudian, beliau kembali ke Medistra untuk pemulihan. Setelah pemulihan selama dua minggu, bunda kami tempatkan di apartemen Lavande yang cukup dekat dengan Medistra dan agar beliau merasa lebih nyaman. Suster yang khusus menjaganya saya berikan berbagai SOP, termasuk apabila terjadi sesuatu dengan bunda.

 

Dua kali seminggu bunda menjalani pemeriksaan perkembangan kondisinya ke prof. Lesmana di Medistra. Mengikuti jam praktek prof Lesmana, kami selalu hadir di ruang tunggu praktek antara pukul 08:00 s.d 01:00 dini hari. Seringkali jam praktek mundur, karena sang profesor harus menyelesaikan operasi terlebih dahulu sehingga seringkali kami mengembalikan bunda ke apartemennya di atas pukul 12 malam. Walau sudah dipersiapkan, seperti menelpon dan mengambil nomor antrian lebih awal, hal-hal tersebut di luar jangkauan kami.

 

Bunda semakin kurus karena sulit masuk makanan. Berbagai cara telah dilakukan terutama atas saran kakak perempuan saya. Kami bergantian berkunjung dan menginap di apartemennya. Beliau terlihat senang di waktu-waktu tersebut. Saya juga meminta Dina, kakak ipar saya, membawa beliau ke salon untuk melakukan beberapa perawatan, dan beliau terlihat senang. Beliau memaksa dibelikan nasi tumpeng dan mengundang saudara-saudara saya lainnya, untuk merayakan ulang tahun saya di tempatnya. Karena kesibukan, saya membelikan tumpeng tersebut bersamaan dengan ulang tahun ibu saya pada tanggal 23 September dan kemudian merayakannya bersama di apartemennya.

 

27 September 2010, pukul 00:30 bunda terlihat lelah setelah pemeriksaan rutin di Medistra. Sekitar pukul 01:00 beliau kami kembalikan ke apartemen. Hasil pemeriksaan malam itu menunjukkan bahwa CA-nya tiba-tiba melonjak drastis ke angka 2.400-an.

 

28 September 2010, sejak pukul 10 pagi saya berada di apartemen-nya. Sebagai hasil rembukan dengan kerabat lainnya, saya berencana memeriksakan CA-nya ke lab Parahita sebagai second opinion. Melihat kondisinya, saya berencana meminta pihak Parahita yang datang ke apartemen keesokan harinya. Pagi itu, bunda banyak bercerita dan mengucap kan hal-hal yang sebetulnya tidak ingin saya dengar. Beliau ternyata paham bahwa penyakitnya lebih parah dari sebelumnya, walau khusus mengenai kondisinya saat itu saya memang tidak bicara terbuka dengannya. Selama ini saya selalu menjelaskan kondisi penyakitnya seburuk apapun. Di pagi hingga siang itu, beliau juga menjelaskan mengenai sertifikat Sandiego Hills dan surat-surat lain yang ada di ordner file yang pernah diberikannya kepada saya. Beliau banyak berpesan, mulai dari pesan yang menyejukkan, beberapa pesan yang ‘aneh’ menurut saya, dan diakhiri dengan berkali-kali mengucapkan terima-kasih. Belakangan saya tahu, bahwa ternyata beliau pernah memberikan pesan yang sama kepada kakak perempuan saya, dan adik bungsunya Etek Nurma.

 

Entah mengapa setelah obrolan siang itu, saya merasakan kelegaan yang beliau rasakan. Walau terlihat lelah, wajahnya lebih cerah dari biasanya. Apalagi ketika beliau mau ikut makan beberapa suap nasi goreng sosis milik Rama. Makan adalah hal yang sebelumnya sulit sekali dilakukannya. Olehkarenanya, kemudian saya pamit pulang sekitar pukul 14:00 karena harus mengirimkan email pekerjaan kepada klien dari rumah. 

 

Sekitar pukul 15:15 saya ditelpon suster karena terjadi sesuatu dengan bunda. Sesuai SOP, ambulans Medistra sudah ditelpon sebelum menelpon saya. Perjalanan yang hanya memakan waktu kurang dari 10 menit terasa sangat lama, dan saya melihat ambulans sudah ada di parkiran. Ketika dokter Medistra menyampaikan bahwa bunda sudah berpulang, saya betul-betul tidak bisa mengendalikan diri. Saya minta dokternya memeriksa kembali, saya bilang ‘gak bisa begitu – gak bisa begitu’. Serasa dunia gelap. Innalillahi wa Innaillaihi Rojiun.

 

Bunda, rupanya ini sebabnya banyak bicara paginya. Dan rupanya ini pula sebabnya   prof. Lesmana malam sebelumnya angkat tangan setelah saya bertanya : ‘Apa maksudnya ini prof, 2.400 ?’. Beliau hanya meresepkan vitamin bagi bunda.

 

Banyak hal yang seharusnya bisa saya lakukan lebih baik, jika saya mau mendengar usulan suami saya untuk cuti dari berbagai pekerjaan dan hanya berfokus pada bunda. Maafkan saya, bunda.

 

Selamat jalan bunda, kami semua ikhlas melepasmu.

SEROJA - Amigos
00:00 / 00:00
bottom of page