top of page

BUTET MANURUNG

 

 

Tidak mudah bagi Butet Manurung meyakinkan masyarakat rimba di pedalaman untuk mau mengenal huruf dan angka. Dia punya cara-cara yang sungguh-sungguh kreatif, ditambah pribadinya yang tidak mudah menyerah. Dari ceritanya, perlu waktu tujuh bulan sejak pertama kali dia berbaur dengan masyarakat sampai akhirnya datang tiga anak kepadanya sambil malu-malu mengatakan : ‘Ibu, kami mau sekolah’. Dan kata Butet, itu kata-kata terindah yang pernah di dengarnya lebih dari pernyataan cinta dari seseorang.

 

Pada dasarnya mereka menganggap sekolah sebagai hal yang tabu. Bahkan pulpen dianggap sebagai ‘iblis runcing’ yang harus dihindari. Tak mudah mendekati kepala suku untuk diajak bicara, juga ibu-ibu penghuni pedalaman. Sampai suatu kali ia tak sengaja berkenalan dengan anak-anak, dan jiwa petualangan masa kanak-kanaknya seperti tumbuh kembali. Enam bulan kemudian, ia baru berhasil mendekati anak-anak rimba. Mengajaknya bermain-main, dan Butet tak sungkan untuk seperti anak-anak rimba, makan makanan yang sama, berpakaian yang sama, mengikuti gaya hidup di hutan, pandai memanjat pohon, membuat jerat binatang, bermain di sungai, dan masih banyak lagi kesukaan yang dirasakannya saat di hutan. Sampai kawan-kawannya kadang berkata, Butet seperti anak kecil yang terperangkap di tubuh orang dewasa.

 

Butet sengaja merekam secara sembunyi-sembunyi ketika mereka bernyanyi. Malamnya dia tuliskan liriknya, dan menghafalnya. Kemudian di acara bernyanyi berikutnya mereka kaget karena Butet sudah hafal lirik lagu tersebut. Dia juga menuliskan nama 40 anak-anak lengkap dengan ciri-ciri masing-masing. Mereka terkejut bahwa dalam semalam Butet hafal semua anak. Butet menjelaskan bahwa hal itu bisa dilakukannya karena dia menuliskannya. Ketika di pasar Butet juga menunjukkan bahwa penjualan yang diakui pembeli sebagai 7 kilo sebetulnya adalah 9 kilo. Dia mengharuskan mereka mengatakannya sendiri pada pembeli agar mereka mau belajar mengenal angka. Selanjutnya barulah masyarakat mulai berpikir bahwa sebetulnya dengan menulis mereka bisa menyimpan resep obat-obatan yang mereka punya.

 

Sebagian besar dari kita ketika remaja atau seumuran es-em-a pasti pernah memimpikan hal-hal yang dilakukan Butet. Masuk ke hutan perawan, bertemu masyarakat terasing, dan mengajarkan mereka baca tulis. Ketika kita mengangankannya, Butet melakukannya.

 

Saur Marlinang Manurung, yang biasa dipanggil teman-temannya dengan Butet, putri berdarah Batak kelahiran Jakarta, 21 Februari 1972. Perempuan luar biasa ini, yang mendedikasikan diri sebagai guru bagi suku anak dalam Jambi, pada tahun 2004 menerima ‘Heroes of Asia Award 2004’ oleh majalah Time.

 

Mengutip 'Antara', Butet merasakan betul ketidakberdayaan Orang Rimba yang tak bisa baca tulis saat mereka seringkali dimanfaatkan ‘orang terang’. Orang terang adalah sebutan yang diberikan Orang Rimba terhadap seseorang di luar komunitas mereka.

 

Orang Terang sering menipu mereka. Tanah mereka kerap dirampas lewat selembar surat perjanjian. Para perampas itu sering mengatakan pada mereka jika selembar kertas itu adalah sebuah penghargaan dari kecamatan, kemudian mereka diberi uang yang jumlahnya sangat sedikit. Setelah itu mereka diminta untuk membubuhkan cap jempol di atas sehelai kertas. Karena buta huruf, mereka turuti saja apa kemauan orang terang, mereka tidak menyadari bahwa itu adalah penipuan.

 

Tidak mudah meyakinkan masyarakat rimba untuk mau belajar baca tulis. Namun Butet yang selalu optimis dan pantang menyerah ini berhasil meyakinkan masyarakat rimba bahwa pendidikan dapat melindungi mereka dari ketertindasan dunia luar. Para anak-anak Suku anak dalam pun sudah dapat lebih teliti. Ketika akan melakukan proses jual-beli, membaca akta perjanjian, dan dapat menghitung sehingga tidak lagi menjadi korban penipuan.

 

Sokola Rimba (sekolah rimba) yang dia bangun bukanlah sebuah sekolah formal yang lazimnya ada di masyarakat, yakni berbentuk sepetak bangunan tembok dan beratap genteng. Sokola itu hanya berbentuk dangau kecil tak berdinding yang bersifat nomaden. Jadi jika tak dibutuhkan lagi bisa segera ditinggalkan.

 

Jika ditanya, dimana alamat Sokola Rimba itu, maka dengan mudah Butet menjawab, "Pada koordinat 01' 05' LS - 102' 30' BT." Karena sentra sekolah itu tak pasti desa maupun kecamatannya.

 

Dalam pola pengajaran, Butet menerapkan cara belajar yang berbeda, mengenalkan huruf per huruf berdasarkan bentuk dan cara mengejanya. Misalnya, A seperti atap, C seperti pegangan periuk, ucapkan M dengan mulut dikatupkan. Huruf pun dirangkai dalam 14 kelompok berpasangan. Berkat metode mengajarnya ini, tahun 2001 Butet dianugrahi "The Man and Biosphere Award" dari LIPI-UNESCO.

 

Begitupun saat murid-muridnya mulai menulis. Lulusan antropologi Universitas Padjadjaran ini, membagikan buku tulis bergaris, pensil, dan pena. Bagi murid yang tidak kebagian alat-alat sekolah, mereka mengambil ranting dan menggarisi di atas tanah. Tak jarang, saat tiba waktunya menggambar, salah satu murid menangkap seekor kijang kecil. Binatang itu ditidurkan di atas kertas dan mulailah sang murid menggambar ruas-ruas tubuh kijang tersebut.

 

Untuk mengatasi kebutuhan jumlah pengajar, Butet membuat sistem melatih anak-anak yang sudah mahir untuk menjadi guru. Butet mengistilahkan tim kecilnya ini sebagai kader guru. Dengan 14 orang kader guru angkatan pertama Sokola Rimba inilah Butet terus merangsek ke jantung rimba. Dalam buku Sokola Rimba, Butet banyak membahas tentang suka dukanya dalam memberikan pendidikan pada orang rimba.

 

Metode yang diterapkannya bersifat setengah antropologis. Pengajaran membaca, menulis, dan berhitung dilakukan sambil tinggal bersama masyarakat didiknya selama beberapa bulan. Sistem ini dikombinasi dengan mempertimbangkan pola kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

 

Masing-masing sekolah memiliki dua hingga tiga pengajar. Mengajar di hutan, kurikulum pun disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Pengajar harus sensitif melihat permasalahan apa yang ada di masyarakat tersebut.  “Kami buat kurikulum sendiri. Analisa masalahnya apa, baru kurikulumnya itu,” katanya. Pendidikan yang diberikan pun harus bermanfaat langsung bagi masyarakat setempat. Tidak  mungkin, lanjutnya, memberi pelajaran komputer kepada mereka yang sedang berkutat dengan masalah ilegal logging.

 

Setelah tersusun secara sistematis, ia mengembangkan sistem Sokola Rimba. Sistem Sokola Rimba kemudian diterapkan pula di berbagai tempat terpencil lainnya di Indonesia, seperti di Aceh, Makassar, Bulukumba (Sulawesi), Flores, Pulau Besar dan Gunung Egon, Halmahera, Klaten, Bantul, Kampung Dukuh (Garut), dan di  pedalaman Papua.

 

Dengan bangga Butet mengabarkan bahwa Nyungsong Bungo, salah satu anak rimba yang pernah diajarnya pergi menimba ilmu pertanian organik di kawasan Cianjur, Jawa Barat. ‘Dia belajar ke sana untuk kembali ke rimba,’ kata Butet.

 

Pemerintah RI berencana mengadopsi sistem sokola rimba ini untuk dikembangkan pada masyarakat dengan kondisi khusus.

 

Ayahnya, Victor Manurung adalah inspirasi utama atas segala langkah yang dilakukannya. Ayahnya selalu mengatakan : ‘Pada saat memberi, kita sebenarnya sedang menerima’. Butet sangat terinspirasi dengan apa yang dilakukan sang ayah. Ayahnya punya 14 anak asuh sepanjang kurun tahun 1977 hingga 1990 di akhir hidupnya. Tidak mudah mengurus anak asuh sebanyak itu, tapi membayangkan senyuman mereka, tak ada satupun yang melebihi kebahagiaan itu. Menjadi Dokter di Papua, adalah cita-cita yang merupakan hasil kompromi dengan ayahnya. Ayahnya ingin Butet menjadi dokter, dan Butet memimpikan suatu saat ingin tinggal di hutan mengabdikan ilmunya bagi masyarakat yang tidak tersentuh peradaban modern. 

 

Keinginannya menjadi dokter musnah bersamaan dengan perginya sang ayah, yang tidak berhasil diselamatkan oleh dokternya. Pertemuan dengan alam, hutan, menjadi obat kegundahannya. Dan sejak itu cintanya tertambat di hutan.

 

Meski jumlah manusia yang tinggal di pedalaman hanya 5% atau 375 juta dari total populasi dunia, namun orang-orang pedalaman inilah yang menjaga hutan dan sumber-sumber kekayaan bumi terpenting. Itu sebabnya ia amat peduli. Apa yang dilakukannya tidak hanya menolong anak rimba untuk tetap melindungi hutannya, namun lebih jauh lagi, adalah melindungi bumi dan manusia lainnya. Satu hal kecil yang mungkin tak terlihat namun memberi kontribusi nyata bagi kesinambungan umat manusia, bahwa hutan adalah sumber oksigen dan air bersih. 

 

Indonesia memiliki banyak pejuang di bidang pendidikan. Acara Kick Andy tidak pernah kekurangan figur inspiratif pejuang kehidupan yang luar biasa untuk ditampilkan di acaranya. Saur Marlinang Manurung adalah salah seorang dari mereka. Satu persamaan yang dimiliki para pejuang kehidupan ini adalah mereka punya cinta, hasrat memberi dan berbagi, serta selalu adalah sosok yang pantang menyerah.

 

Indonesia masih membutuhkan banyak Saur Marlinang Manurung.  

 

I WANNA HOLD YOUR HAND - Beatles Cover (Alaine Lambe & John Davidson)
00:00 / 00:00
bottom of page