top of page

Saya tidak sedang bicara mengenai bekal kematian menuju alam baka secara spiritual dan material, tetapi secara teknis seperti gambaran bahwa kita belum sempat mempersiapkan makanan apapun untuk suami dan anak-anak, kita belum sempat pesan-pesan ke si 'mbak', kita belum persiapkan obat untuk diminum 'oma' nya anak-anak, kita belum menitipkan uang untuk arisan er-te sore nanti, dan banyak lagi, dalam artian yang sebenarnya, padahal dalam hitungan kurang dari satu jam kita harus berangkat tugas kantor ke luar kota untuk beberapa hari. Misalnya.

Saya sedang berpikir, seharusnya saya bisa mencicil pesan sampai saatnya tiba. Saat kematian, maksudnya. Karena saya bukanlah orang yang tabu bicara soal kematian dan persiapannya, misalnya mau dimakamkan dimana, mau bagaimana, begini, dan begitunya. Apalagi kalau mencicil pesan yang saya maksudkan misalnya cuma soal supaya lebih banyak mencoba makan sayur, buah, madu, dan vitamin, agar tidak cepat lelah dan sakit, untuk si bontot saya yang tahun ini sudah masuk SMA. Kecuali, secara pasti kita memang mendapat tambahan waktu satu jam khusus untuk urusan pesan-pesan sebelum kedatangan yang terhormat Izrail.

Olehkarenanya, saya menuliskan pesan-pesan untuk orang-orang terkasih saya secara cicilan, yang didahului dengan DP yang cukup. Semakin hari semakin banyak pointer cicilan pesan tetapi banyak juga yang dicoret karena sudah dikomunikasikan, dipahami bersama, dan selesai. Itu kalau yang berupa pointer. Tapi ada juga pesan yang bentuknya long-life atau permanen. Mungkin akan selesai, mungkin tidak akan selesai, tetapi saya sudah mencoba untuk memulai. 

Walau mungkin saya tidak akan pernah merasa siap menghadapi kematian, terutama karena harus berpisah dengan orang-orang terkasih, saya ingin di saat terakhir, ketika semakin sedikit rasa yang tak terucap, semoga semakin ikhlas menghadapinya. Untuk yang meninggalkan maupun yang ditinggalkan.

 

Salam,

tuti dipo

SATU JAM SAJA - Harry Roesli
00:00 / 00:00
bottom of page