top of page


D I P O, sahabat terbaik saya. Ganteng itu relatif, tapi Dipo itu ganteng, menurut saya. Ganteng asli. Dia penyayang, senyumnya tulus, dan berbagai hal dilakukan dengan kesadaran penuh dari sudut hatinya yang paling dalam. Segala yang diyakininya berdasar, walau tidak umum. Dia tidak suka berpura-pura, semua yang dirasa terlihat di matanya. Sayangnya dia irit bila ada yang mengganggu hatinya. Walau matanya berbicara, justru mulutnya baru berbicara jika dipancing bicara. Rasanya gak fungsional banget, kan ? 

Tapi itulah Dipo, suami saya yang saya panggil ayah sebagaimana anak-anak memanggilnya atau saya panggil suami ... dengan irama mendayu. Dulu saya panggil dia Gul. Maksudnya ? Ada deh. Itu panggilan sebelum ada anak-anak. Dia seorang yang humoris, humoris yang cerdas. Dipo seorang pengamat yang menurut saya tidak selalu sukses hasil terawangannya, karena terkontaminasi harapan. Dia tidak jarang salah kira terhadap sikap atau tindakan orang sekitarnya. Kekalahan terbesarnya dibanding hasil terawangan saya ketika kami masih pacaran dulu yang akhirnya terbukti pada saat kami telah memiliki Daya, adalah mengenai siapa dulu yang bakal hancur dan bubar, apakah Amerika Serikat atau Uni Soviet. Analisa saya, menjadi sekumpulan orang songong lebih mudah dan tahan lama dibanding menjadi sekumpulan orang tertekan dan terkungkung kebebasannya.

Cara berpikir kami fokusnya seringkali beda momen. Suami saya hampir selalu membicarakan big picture dan antisipasi ujung dari satu permasalahan ketika saya sedang asik bicara detil. Tetapi ketika saya bicara big picture dan antisipasi ujung permasalahan, dia menuntut detil. Seringkali slisipan, kata orang jawa. Padahal sebetulnya kami punya maksud dan ujung yang sama. Sangat sering kami berkomentar dengan kalimat yang sama di waktu bersamaan tentang suatu hal. Berdehempun terkadang bersamaan, seperti orang berjodoh. 

Separuh isi kepala saya adalah hasil 'curian' pemikiran suami saya yang biasanya rutin saya lakukan sebelum maju presentasi kepada klien kantor. Pemikiran-pemikirannya benar-benar memperkaya, karena hampir selalu cara melihatnya dari sudut yang berbeda dari cara pandang saya.

Dipo termasuk orang yang susah move-on, terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan perasaan. Bahkan ada permasalahan yang membuat dia tidak pernah move-on sampai sekarang sejak lebih dari 25 tahun lalu. 

Dia termasuk orang yang 'pemilih' dan tidak bisa diprediksi nafsu makannya. Bagaimana bisa, jika nafsu makannya dikendalikan oleh hal-hal yang terjadi diluar jangkauan, seperti hiruk pikuk ketidakadilan yang terjadi di tanah air tercinta ini, penyerangan-penyerangan di Gaza, kebodohan-kebodohan di pemerintah. Bagaimana bisa, sementara hal-hal seperti itu setiap hari berseliweran di mata dan telinga kita. Pada dasarnya, Dipo pribadi yang tidak puas terhadap hampir segala hal dan menginginkan ada perbaikan dan kemajuan bertahap walau sedikit. Jarang, bahkan hampir tidak pernah sesuatu yang saya rasakan sebagai prestasi diapresiasi dengan pujian tanpa menunjukkan kekurangan. Walau ngarep.com, akhirnya saya harus cukup puas bila orang lain yang mengapresiasi pencapaian saya.

Apapun, saya sangat merasa bersalah jika dia tidak bahagia atau telihat tidak bahagia, walau menjadi bahagia dalam konteks kepribadian suami saya ini adalah pilihan pribadi. Hal ini menjadi lebih rumit lagi, jika momen 'gak nafsu makannya' bersamaan dengan ketidakfitan saya dari segi waktu, fisik, dan terutama mental. Tidak mudah menjadi bagian dari hidup suami saya ini, walau sebagian besarnya berjalan dengan sangat menyenangkan.

Suami saya, Dipo Raharto, yang sempurna karena ketidaksempurnaannya, terimakasih telah menjadi bagian dari hidup saya. Walau hidup bersamamu tidak selamanya indah, terimakasih untuk warna yang telah kita sapukan bersama selama seperempat abad ini.

SEMUT - Harry Roesli
00:00 / 00:00
bottom of page