top of page

Hobby dan Kebahagiaan

 

 

Pengunjung tetap 'rumah nenek' di Cibodas tahun-tahun 70-an pasti hafal lagu ini. Bedanya hanya lagu kebangsaan para pendaki ini biasa dinyanyikan dengan gitar, temponya lebih cepat dan bersemangat, serta kehilangan 'pam pam pam' yang dinyanyikan bersama-sama di akhir lagu. Entah bagaimana mulanya, tetapi pada masa itu - mungkin hingga saat ini - lagu 'Di Jenjang Desember' ini selalu dinyanyikan di saat santai ketika melakukan pendakian gunung manapun di Indonesia. 

 

Pertemanan para pendaki dari kelompok manapun bagi saya mengharukan. Saya rasa, itulah sifat orang Indonesia sesungguhnya. Ramah, bertegur sapa, berbagi, tanpa pamrih. Saya sangat betah di lingkungan seperti itu. Olehkarenanya dalam kurun waktu hampir sepuluh tahun saya rutin melakukannya di akhir pekan. Setidaknya sebulan sekali. Di sekolah saya di es-em-a delapan Jakarta, saya memiliki kelompok dengan hobby yang sama. Jum'at siang kami akan janjian untuk berkumpul di 'rumah nenek' di Sabtu besoknya. Kami berangkat masing-masing dari rumah di Jakarta menuju Cibodas biasanya dengan bus. Masa itu kendaraan ke atas (kaki gunung gede) masih jarang, sehingga biasanya saya akan jalan kaki ke atas selama 20-30 menit. Malamnya kami mulai mendaki, pagi sudah di Suryakencana, siang sudah di kaki gunung Pangrango - Sukabumi, dan sorenya kembali ke Jakarta.

 

Saya tidak terlalu suka berkemah. Saya suka pendakian. Pada masa-masa es-em-a sampai kuliah saya melakukannya dengan senang, sedang punya pacar maupun tidak sedang punya pacar. Karena saya tidak pernah sekalipun mendaki dengan pacar. Pacar hanya akan membuat kita harus merasa lebih lemah dibanding dia. Hehehe. 

 

Yang cukup rutin adalah gunung gede-pangrango (dulu jalannya belum by-pass) ; dan Bromo-Ranupani-Ayak2-Ranugembolo-Semeru melalui desa Ngadas. Saking seringnya saya hapal hampir seluruh penghuni desa Ngadas waktu itu. Mulai penjual gulali dengan biola satu senarnya yang ngek-ngok-ngek-ngok di pagi hari, sampai penjaga masjid (dipakai juga oleh penganut agama lain, termasuk sembahyangan penganut aliran kepercayaan). Selebihnya adalah beberapa gunung lainnya di pulau jawa dan Bali.

 

Di pemikiran saya, hobby saya sama dengan hobby-hobby kebanyakan anak muda lainnya seperti main basket, mengumpulkan perangko, bercocok tanam, bernyanyi, bermain teater.

Bila dikerjakan dengan senang dan penuh minat akan menimbulkan kebahagiaan. Mendaki bagi saya tidak bertarget, tidak untuk tujuan menaklukkan sesuatu, apalagi kalau diartikan sebagai untuk menaklukkan diri sendiri. Jalan ya jalan, naik ya naik, capek ya capek, pas sampai di atas ya senang. Begitu saja. Tidak memaksakan diri, tetapi tidak pernah berhenti di tengah jalan dan kembali turun ke bawah. 

 

Kebebasan menjalankan hobby begitu menyenangkan waktu itu. Orangtua di rumah tinggal dikasih tahu saya mau pergi kemana. Kepercayaan yang menyenangkan. 

 

Hobby adalah cara mengekspresikan diri disamping rutinitas yang kita lakukan sehari-hari. Membuat kita menghargai diri sendiri, mencintai diri kita sendiri, yang akan menjadi bekal untuk dapat menghargai dan mencintai orang lain sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. 

 

Itu hampir tigapuluh tahun yang lalu. Saat ini hobby saya menyatu dengan pekerjaan. Tolok ukurnya ada pada kebahagiaan ketika melakukan presentasi kepada klien, berinteraksi dengan orang banyak, memecahkan berbagai permasalahan human resources terutama yang menyangkut hal-hal hakiki kemanusiaan. Pendeknya, saya cukup dapat mengekspresikan diri di pekerjaan.

 

Kalau dilihat dari definisi hobby yaitu melakukan kesenangan diluar kerutinitasan, keluar sebentar dari hal-hal rutin - kalau betul definisinya demikian -  tentu seharusnya saya punya hobby lainnya. Ternyata saya tidak punya kebisaan lain. Dan, saya kok tidak peduli.  

Di Jenjang Desember - Gustryaraka
00:00 / 00:00
bottom of page