top of page

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Masa Kecil

Ayah saya, Poedjo Soenarjo lahir di Poerworejo 29 November 1931, anak ke 6 dari 8 bersaudara. Beliau berasal dari keluarga Katholik yang taat, bahkan kakak laki-lakinya yang nomor 2 pernah menjadi seorang biarawan, sementara adik langsungnya adalah biarawati hingga akhir hayatnya. Karena keadaan saat itu, papa dititipkan kepada satu keluarga di Magelang, sehingga beliau mempunyai ibu kedua, yaitu ibu susunya yang biasa kami panggil mbah pendek. 

Masa Remaja

Masa remajanya diisi dengan ikut berperang melawan Belanda. Beliau biasanya berperan sebagai mata-mata, karena kulitnya yang putih dan pandainya beliau berbahasa Belanda. Tak jarang nyawanya dipertaruhkan. 

Masa Dewasa

Setelah kemerdekaan, beliau merantau ke Jakarta untuk bersekolah. Di sekolah beliau bertemu dengan wanita cantik yang kemudian menjadi istrinya. Hobby dan kebiasaan yang berbeda tidak menghalangi cinta mereka. Walau tidak jarang tempat pesta dansa yang dihadiri mama (mama guru dansa yang di Jakarta tinggal dengan omnya yang menikah dengan wanita asal manado), ditimpuki papa dan teman-temannya. Dia tidak pernah mau lagi diajak ke pesta oleh mama setelah hatinya tidak rela melihat mama berdansa dengan 'changing partner'. Bagaimanapun, akhirnya mereka menikah di Padang.

Masa Pernikahan

Papa menafkahi keluarganya dengan 7 anak dengan bekerja di sebuah bank swasta sejak memiliki 5 karyawan sampai beliau pensiun. Rumah kami tidak pernah sepi dari kakak, adik, saudara, atau keponakan papa dan mama yang tinggal bersama kami untuk sekolah atau bekerja di Jakarta. Setelah pensiun beliau bekerja sebagai pimpinan anak perusahaan petro yang patungan dengan perusahaan Korea di Gresik selama lebih dari lima tahun. Anak-anak memintanya berhenti, melihat ketidaknyamanannya dalam bekerja dengan pihak asing. Untuk seorang yang merasakan kebanggaan sebagai orang Indonesia, dan arti kemerdekaan bagi diri dan bangsanya, hal-hal yang mungkin masih bisa diterima orang Indonesia lainnya, tidaklah mudah baginya. Hal-hal yang bisa menyinggung harga dirinya sebagai orang Indonesia, walau tidak secara langsung mengenai diri beliau, adalah satu-satunya yang bisa membuat beliau marah.

Masa tua

Kesalahan kami adalah tidak ikut membantu mempersiapkan beliau menghadapi perubahan dari tingkat kesibukan yang demikian tinggi, menjadi tanpa mengerjakan apa-apa di rumah. Dia mengisi kesibukannya sendiri, sementara anak-anak sibuk dengan urusan masing-masing. Beliau berpulang pada tanggal 17 Oktober 1997, dengan sangat tenang dalam tidur menjelang maghrib ketika dibangunkan untuk berbuka puasa, di hari Kamis malam Jum'at, persis sehari sebelum Hari Raya Idul Adha. 

Saat Kepergiannya

Kepergian beliau sangat tiba-tiba, tetapi bukan tanpa tanda-tanda. Seminggu sebelum kepergiannya beliau sudah mengunjungi teman-teman dan kenalannya untuk meminta maaf. Langit serasa runtuh di kepala saya. Dibawah payung dalam hujan yang deras pulang dari kantor saya tidak bisa berhenti menangis yang tidak tertahankan, hati saya hancur. Baru dua hari sebelumnya saya membawakan beliau pisang gepeng dan misro yang beliau minta.  Saat itu, kepada saya beliau banyak bercerita, kemudian meminta maaf bahwa tidak  bisa memberikan banyak harta, tetapi beliau menyatakan sudah senang dan tidak ada keinginan apa-apa lagi karena beliau merasa anak-anak sudah bisa mandiri (beliau sebutkan satu persatu anak-anaknya dengan uraian kebahagiannya dan hal-hal yang masih harus mereka capai). Setelah 16 tahun, saya tidak bisa menahan rasa sakit dan perasaan hampa di hati saya bila terkenang beliau, bila melihat fotonya, atau bila ada yang berbincang mengenai beliau.

Ayah saya orang yang lurus, adem, sangat romantis, sabar dan jarang sekali marah, baik hati, pekerja keras, dan mudah tersentuh hatinya. Beliau bukan seorang islam yang taat, tetapi sangat islami. Beliau senang menyanyi, menyenandungkan pangkur, serta memainkan harmonika, sitar dan suling bambunya. Temannya banyak, dari segala kalangan. Apabila ada pencuri yang tertangkap (yang biasanya dinasehati kemudian dilepaskan), perselisihan antar warga, keributan antar suami isteri, selalu dibawa warga ke rumah kami. Saya teringat ketika di suatu tengah malam seorang ibu berteriak-teriak histeris minta dibukakan pintu rumah kami, sementara suaminya yang seorang tukang jahit mengejar di belakangnya sambil memegang gunting. Banyak cerita sekaligus cinta untuk ayah saya dari orang sekitar dan orang yang mengenal beliau.

Suami saya, sangat dekat dengan beliau. Di masa pensiunnya, terutama di bulan-bulan terakhir sebelum berpulang, papa sering mampir ke rumah kami, berbincang berjam-jam, terlihat serius, dan sesekali tertawa bersama, dengan suami saya yang saat itu masih aktif di lapangan sebagai wartawan. Pembicaraan banyak seputar situasi tahun-tahun terakhir yang cukup panas menjelang kejatuhan Soeharto. Dalam banyak hal mereka sepemikiran. 

Papa, kangen ...

BELAIAN SAYANG - Bing Slamet
00:00 / 00:00
bottom of page