top of page

LUCIA HARTINI

 

 

Lucia Hartini salah satu pelukis wanita Indonesia yang beraliran surealis. Dia telah memberikan warna tersendiri dalam wacana seni rupa Indonesia. Karya-karyanya telah banyak dikoleksi para kolektor di dalam dan di luar negeri, dan menjadi bahan diskusi dalam berbagai tulisan dan perbincangan seni.

 

Sebagian merupakan karya-karya misteri. Karena lukisan-lukisan itu dibuat setelah dia mengalami proses penyembuhan atas suatu penyakitnya yang berkepanjangan. Lucia Hartini menjalani pengobatan alternatif. Ia dinilai cerdik dalam melawan badai yang menghantam kehidupannya. Badai itu berhasil diubahnya menjadi spirit yang bergelora dan bekal dalam berkarya. Karyanya adalah refleksi perjalanan religius, pencarian makna hidup yang dituangkan dalam kanvas yang rata-rata berukuran besar.

 

Awalnya, bagi Lucia Hartini melukis hanya sekadar hobi, disamping hobi memasak, menjahit dan membuat kerajinan. Cita-citanya memiliki butik atau restoran, olehkarenanya ia dan adik perempuannya sekolah di SKKP di Temanggung. Karena sejak kecil sudah suka menggambar, kakaknya memasukkannya ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta. Ia memutuskan menekuni seni lukis, tapi kelas 2, ia dikeluarkan dari sekolah.

Lucia Hartini yang lahir di Temanggung, 10 Januari 1959, serta anak keenam dari sembilan bersaudara ini tak lantas menghentikan hobi melukisnya. Ia terus mencari inspirasi dan belajar melukis secara otodidak. Berbagai kritikan terhadap lukisannya pernah dialami, tapi tidak membuatnya patah arang. Ia terus belajar, dengan cara mendatangi setiap pameran lukisan, melihat dan mengamati lukisan-lukisan karya pelukis lain. Hingga akhirnya, ia dapat menghasilkan lukisan dengan gayanya sendiri. Lucia Hartini melukis dengan cat minyak di atas kanvas, dengan teknik akademis. Ia juga menerapkan teknik arsir (hatching) pada seluruh permukaan bidang lukisnya untuk menegaskan volume, cahaya, ruang, dan waktu. Ia sendiri sebelumnya tidak tahu aliran lukisannya, karena ia melukiskan apa yang ia dapat dari meditasi dan pengalaman spiritual. Hampir seluruh kakak dan adiknya menekuni bidang seni. Kakak laki-laki ke dua, Kus dan kakak laki-laki ke tiga Hartoyo, serta adik perempuannya nomor tujuh Yanti, menekuni seni patung disamping juga melukis. Adik ke delapannya Biyanto melukis dengan teknik arsiran yang sama luar biasanya dengan Lucia Hartini. Sedangkan Anna, adik bungsunya, menekuni bidang fashion dan bermukim di Belanda.

Beberapa lukisan Lucia Hartini mengandung pesan mistis, dan tak jarang ia menemukan pengalaman spiritual. Ia menceritakan bahwa pada satu ketika ia bertemu dengan guru yang berasal dari Tibet. Sang guru mengajarinya meditasi. dari situ mulai muncul ide-ide serta inspirasinya dalam melukis. Ia sering meditasi, semedi, dan tak jarang menemukan pengalaman yang kalau diceritakan antara percaya dan sulit percaya. Karyanya berdasarkan pada pengalaman spiritual yang diimajinasikan dalam lukisan. Ia mengaku bahwa ia mendapat inspirasi melalui komunikasinya dengan alam dan Tuhan. Dalam setiap lukisan ia selalu menyertakan unsur air dan awan yang membuatnya merasa tidak ada batas antara ia, alam, dan Sang Pencipta. Lewat lukisan ia ingin agar setiap orang bisa merasakan getaran-getaran alam, bahasa, pengaruh, dan sifat alam. Menyatu dengan alam, membuat hidupnya tenang. Dengan adanya kontak dan hubungan batin dengan Sang Pencipta itulah, ia mengaku bisa menghasilkan karya lukisan yang penuh makna di dalamnya.

Karyanya berupa simbol yang kuat untuk menyampaikan narasinya yang kompleks. Seninya adalah interpretasi dirinya dan lingkungannya. Lukisan Hartini sebelumnya digambarkan lanskap kosmik dan manusia (anak-anak dan kemudian, orang dewasa). Selanjutnya, ia menggambarkan dirinya sebagai sosok perempuan dengan situasi yang sering terlihat tak berdaya, rentan, pasif dan patuh. Dalam perkembangannya, ia berjuang untuk menjadi dirinya sendiri, seperti teror di Spionase Lens. Ini adalah kutipan dari Lucia Hartini, yang saya ambil dari ulasan di artsy-inspirations.blogspot.com  : "Ini bercerita tentang obsesi saya dengan mata, terutama mata manusia. Mata yang menakut-nakuti saya sangat banyak. Mereka mengikuti saya ke mana pun saya pergi dan mereka selalu ingin tahu urusan saya."

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Saya kutipkan analisa dari blog yang sama mengenai lukisan ini, sebagai berikut : 

 

Dinding bata oranye-merah yang zig zag seperti labirin dan biru, cairan kain gorden yang mendominasi seluruh komposisi, menunjukkan gagasan tak terhingga dan endlessness. Dinding bata memperpanjang keluar dari frame dari seluruh lukisan sementara kain meluas dari komposisi setelah perulangan atas dinding. Di latar depan, seorang wanita dibalut kain biru royal gelap berbaring, meringkuk dalam posisi janin, tampak tak berdaya dan lelah, tampaknya ditelan oleh lingkungan mengancam dirinya. Dia mengapung di antara awan, menentang gravitasi. Terlihat ada beberapa mata menembakkan sinar cahaya pada si wanita, mengamati, mengawasi setiap gerakan seolah-olah kamera pengintai. Rasa silau menyebabkan si wanita meringkuk ketakutan dan menutup matanya dalam pose tunduk.

 

Di latar belakang, awan merah keunguan terlihat menyenangkan dan tampaknya melakukan perjalanan ke labirin, menempati ruang di dalam labirin dan mereka melanggar batas terhadap si wanita, menunjukkan bahaya mendekat. 

 

Lucia Hartini atau sang wanita dilukis secara fotorealistik, halus dan detail, menangkap setiap detail dan nada setiap bentuk. Lipat kain wanita dinilai sangat berlebihan, yang mendistorsi bentuk biasa. Ia juga menggunakan warna oranye cerah dan biru untuk membedakan wanita dan dinding bata. Warna komplementer juga berfungsi untuk membawa keluar fakta bahwa si wanita yang paling menonjol, yang berkontribusi pada ketegangan sekelilingnya sekaligus berbeda dari sekelilingnya. Kegelapan awan menunjukkan gagasan mendekati bahaya, berkontribusi terhadap kehadiran menyenangkan dari awan.

 

Lucia Hartini memakai simbol-simbol untuk menggambarkan, rasa frustrasinya terhadap sifat menindas masyarakat Indonesia dengan mengekspresikan perasaannya secara tidak langsung (koreksi saya : rasa frustasinya terhadap perasaan tertindasnya oleh lingkungannya pada saat itu - bukan terhadap sifat menindas masyarakat Indonesia).  

 

Simbol-simbol dalam lukisannya berhubungan dengan sejarah kehidupan pribadinya, simbol yang benar-benar didasarkan pada imajinasi karena bukan benda sehari-hari. Namun demikian, simbol-simbol ini disandingkan bersama-sama untuk mencerminkan Lucia Hartini yang takut akan pikiran, statusnya dalam masyarakat, dan sifat masyarakat Indonesia yang menindas (koreksi saya : dan sifat masyarakat di sekitar Lucia Hartini pada saat ia mengalami tekanan dalam hidupnya. Perasaan saat ia melukis lukisan ini. Yang ada hanyalah, Lucia Hartini, masyarakat sekitarnya, dan perasaannya - tidak ada hubungannya dengan sifat masyarakat Indonesia).

 

Simbol nya relatif dapat diakses karena mereka bersama-sama, bercerita - kisah hidup Lucia Hartini itu. Simbol-simbol yang dia gunakan benar-benar memiliki arti harfiah. Misalnya, mata berhubungan dengan mata-mata dan posisi janin dari wanita berkaitan dengan gagasan menjadi tak berdaya dan takut. Karena kenyataan ini, penikmat lukisannya mampu menguraikan simbol lebih mudah dan dapat membaca narasi di balik lukisan itu.

 

Dengan jelas gambar menunjukkan bahwa ia takut, takut terhadap mata masyarakat Indonesia, yang umum percaya bahwa seorang wanita harus bekerja di rumah tangga, mendukung suami dan anak-anak. Dia juga Katolik dalam masyarakat yang didominasi Muslim, yang hanya menekankan perbedaan nya dari orang lain (koreksi saya : Lucia Hartini lahir di keluarga Katholik yang keluarga besar dari ayahnya banyak yang muslim, sedangkan ia sendiri mengaku sebagai penganut aliran kepercayaan). Dia sangat percaya bahwa perempuan memiliki hak untuk mencapai apa yang mereka inginkan, dan dilindungi dari bahaya yang mengelilinginya, dari masyarakat dan dari sejarahnya menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. 

 

Dalam lukisan 'Spying Lens' tersebut, awan merupakan bahaya mendekat karena mereka  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

tampaknya akan merangkak ke arah sang wanita. Hal ini juga dapat mewakili ketakutan Lucia Hartini yang tidak diketahui - dia tidak tahu apa yang ada di depannya dan dia berharap bahwa semua horor ini hanya mimpi belaka.

_____

 

Di bawah ini, saya tampilkan beberapa lukisan Lucia Hartini yang saya ambil dari Google dan katalog pamerannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Baginya, lukisan 'Dewi Sri' merupakan penggambaran dirinya sendiri. Lukisannya ini menceritakan tentang kisah hidupnya sebagai wanita yang selalu mengalah. Dalam pergulatan hidupnya, ia mendekat kan diri pada Tuhan dengan cara berdoa lewat meditasi. Dan, ia menemukan pegangan hidup bahwa ia tak boleh jatuh, tapi harus tegar dan kuat. Dari situlah lahir lukisan Dewi Sri, sosok wanita dalam cerita Jawa yang bisa memberi kemakmuran bagi siapa saja.


Pada lukisan 'Payung' berukuran 2x1,5m, ia mengaku, pada waktu itu tidak tahu siapa yang dilukisnya. Wajar jika beberapa pengamat menilai Lucia Hartini sering melukiskan sesuatu di luar kelaziman, sering mengejutkan karena begitu spektakuler, penuh energi, dan mengandung berbagai kiasan yang mengundang tanda tanya. 

(Komentar saya : Tampaknya lukisan 'payung' ini memiliki arti khusus baginya, karena pernah akan dibeli oleh Sultan Brunei tetapi tidak dijual oleh Lucia Hartini. Terakhir kali ke rumahnya, kakak tertua saya masih melihat lukisan itu terpajang di rumahnya)

 

Dalam lukisan berjudul ''Nuklir Dalam Wajan'' melukiskan wajan panas yang retak dan nyaris terbalik, seolah-olah merupakan representasi dirinya sendiri. Lukisan ini pernah membuat heboh karena lukisannya yang dibuat tahun 1994 tentang letusan gunung berapi lengkap dengan gumpalan awan panas. Ternyata lukisan itu menjadi kenyataan, karena Gunung Merapi meletus hingga menimbulkan korban lebih dari 60 jiwa. 

 

Pada lukisan 'Hati yang Menang' yang merupakan ungkapan pengalaman Lucia Hartini yang telah mampu menjinakkan beringasnya badai kehidupan. Lucia telah mengecap begitu banyak pahit getir kehidupan, terutama persoalan rumah tangga. Dia dua kali menikah, dan keduanya gagal. Dia telah berusaha menurut dan patuh pada suami, namun tetap saja menerima kekerasan fisik maupun psikis. Akhirnya dia memutuskan bercerai dan tidak menikah lagi. Dan saat itulah dia merasa jiwanya menang karena mampu menentukan arah hidupnya sendiri tanpa perlu lagi ditata (diatur) atau berkonfrontasi dengan laki-laki (suami).

 

Sementara itu, lukisan 'Hancurlah Bunganya' berkisah perihal perempuan (dilambangkan sebagai bunga) yang tak diberi kesempatan untuk berkembang. Di tengah budaya patriarki, perempuan selalu mengalami banyak ketidakadilan gender. Iapun mengalami banyak kekerasan dan diskriminasi di dalam rumah tangga, maupun di dalam pergaulan sosial. Ia sempat mengalami trauma hebat yang sempat membuat jiwanya terganggu. Lukisan ini mengungkapkan bahwa ketika perempuan terus menerus dikekang untuk mengembangkan kemampuannya, suatu waktu dia akan memberontak dan meledak, menghancurkan dirinya sendiri maupun sekitarnya.

 

Lukisan yang berjudul 'Karna Tanding', 'Spirit of Life', atau 'Eyang Ismoyo' dan beberapa lainnya menunjukkan kekuatannya. 

 

Semua jerih payahnya selama ini telah menghasil-kan karya-karya yang spektakuler. Karyanya banyak dicari para kolektor lukisan. Karya lukisan Lucia Hartini sering kali diikutkan dalam pameran-pameran nasional dan internasional. Tak jarang ia mengadakan pameran tunggal untuk menunjukkan bahwa dirinya tetap eksis berkarya. Bahkan, salah satu lukisannya berjudul 'The Blue Moon' dikoleksi Museum Fukoka Tokyo, Jepang, dan dijadikan cover buku berbahasa Inggris, 'Modern Asian Art'. 

 

Beragam penghargaan karya seni rupa pernah diraih Lucia Hartini, namun tak pernah sekalipun ia mendatangi penganugerahan penghargaan karena selalu berhalangan hadir.

 

Semua penghargaan dan kesuksesan yang bisa diraihnya selama ini menjadikan Lucia Hartini bangga terhadap dirinya sendiri. Hal itu karena ia merasa mampu bangkit dalam keterpurukan membangun rumah tangganya. Dalam kesendirian nya, ia juga terus berjuang untuk menghidupi dan membesarkan keempat anaknya.

Kini, Lucia Hartini memimpikan mempunyai koleksi lukisannya sendiri. Ia berharap bisa memiliki galeri, sehingga lukisan-lukisannya bisa dinikmati semakin banyak orang. Dan, ia juga berharap semakin banyak orang bisa terinspirasi oleh karya-karyanya. Saat ini, selain berkarya dan mengurus anak, hidupnya difokuskan untuk mendekatkan diri pada Tuhan.

 

Catatan : tulisan diambil dan disarikan dari berbagai ulasan mengenai Lucia Hartini. 

 

 

 

 

 

 

Lucia Hartini, yang biasa saya panggil Mbak Tini karena ayahnya adalah kakak ayah saya, telah menemukan jati diri dan kehidupan yang mendamaikan hatinya.

 

Kami lama tidak bertemu lagi secara langsung, karena dia tidak pernah lagi mampir ke rumah membawa Loco-nya seperti dulu bila ke Jakarta, atau selalu slisipan waktu ketika saya ke Yogya.    

Di masa lalu keluarga kami sempat berbagi anggota keluarga bertahun-tahun lamanya. Kakak-kakaknya tinggal di keluarga saya dan kakak tertua saya tinggal bersama keluarganya. Namun demikian, disaat-saat Natal maupun Lebaran keluarga sesekali masih saling berkunjung, serta memberi kabar seperti ketika ayah saya, ibunya, kemudian terakhir ketika ayahnya berpulang.

 

Selamat berkarya Mbak Tini, dan terus menginspirasi banyak orang.

 

JOGA - Bjork
00:00 / 00:00
bottom of page